SELAMAT DATANG ...

SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN BLOG PRIBADI SAYA, MARI BERBAGI INFORMASI DAN PENGALAMAN

Rabu, 24 Februari 2016

OPINI

Pseksu, Sisi Lain Lahat[1]
Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si.
(Doktor Ilmu Komunikasi UIN Raden Fatah)

            Awal Februari lalu, saya mengantarkan 3 kelompok mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) ke Kabupaten Lahat, tepatnya di Kecamatan Pseksu. Nama ini agak unik karena sekilas bukanlah bahasa daerah setempat. Pseksu ternyata adalah singkatan dari Penjalang Suku Empayang Kikim Saling Ulu. Membaca nama ini, kita akan bersepakat bahwa Pseksu adalah salah satu daerah tertua di Lahat. Tak dipungkiri memang karena daerah ini, yang awalnya bergabung dengan Kecamatan Lahat, punya sejarah panjang terkait keberadaan masyarakat di negeri seribu situs ini.


            Nama Pseksu menunjukkan realitas bahwa komunitas masyarakat lokal di Sumatera Selatan ini, senantiasa terhubungkan dengan jalur perairan yaitu sungai. Kabupaten Lahat sendiri termasuk salah satu daerah yang menjadi bagian hulu dari berbagai jalur sungai di Sumsel lainnya. Semua nama yang disingkat pada kata Pseksu menunjukkan nama sungai yaitu Sungai Empayang, Sungai Kikim dan Sungai Saling. Penjalang sendiri dalam bahasa Besemah bisa dimaknai sebagai berpindah atau berjalan. Punya kemiripan dengan istilah lain yaitu “pemidang”. Menurut sejarahnya memang beberapa desa di Pseksu adalah komunitas yang berpindah dari daerah lain. Hal ini diyakini berlangsung sejak zaman puyang dahulu kala.
            Memasuki daerah Pseksu tidaklah sulit. Dari kota Lahat, menyusuri jalur jalan lintas Sumatera mengarah ke Kikim dan Lubuk Linggau. Kelok liku jalan yang bersejarah ini akan mengantarkan kita memasuki daerah Kikim Timur. Di beberapa titik terdapat badan jalan  mengalami longsor yang tergerus oleh derasnya air hujan. Kiri kanan jalan didominasi oleh kebun karet rakyat dan kerimbunan pohon bambu. Agak berbeda dengan jalur dari Lahat ke Muara Enim, maka di jalur ini sangat jarang ditemukan truk pengangkut batubara. Agaknya lokasi eskploitasi “emas hitam” ini tidak terdapat di wilayah tersebut.
            Sekitar 30 km perjalanan, kita akan menjumpai sebuah jembatan panjang, yang konon juga menjadi saksi sejarah perjuangan masyarakat Lahat dan Sumsel semasa perang kemerdekaan dulu. Itulah Jembatan Bunga Mas yang melintasi alur Sungai Kikim. Di titik ini kita sudah berada di jantung “Kikim Area”, tepatnya di ibukota Kecamatan Kikim Timur. Di ujung jembatan, sebuah persimpangan jalan kecil membelok ke kiri. Itulah jalur menuju Kecamatan Pseksu. Jalan besar Lintas Sumatera langsung berganti dengan jalan kecil seukuran badan mobil. Lazim disebut dengan jalan kecamatan.
            Memasuki jalur ini, kita kemudian harus mengakui, salah satu perbedaan utama Kabupaten Lahat dibandingkan dengan kabupaten lain di Sumsel, adalah akses jalan yang relatif bagus dan bisa dilalui kendaraan apapun. Jalan ini memang jalan kecamatan, bahkan di beberapa tempat bisa disebut jalan desa, tetapi semua ruas jalan sudah diaspal, tak ada lagi jalan yang berupa medan off road. Beberapa titik memang ada lobang-lobang, tetapi tidak tersulit bagi kendaraan untuk melewatinya.
            Dari simpang Jembatan Bunga Mas (penduduk setempat menyebutnya Simpang Muara Danau) menuju ibukota kecamatan Pseksu, sekitar 3 km, jarak yang tidak terlalu jauh dan mudah untuk dilewati. Tetapi, khas daerah uluan, tanjakan, turunan dan kelok liku jalan, adalah sesuatu yang lumrah. Beberapa kali kita akan berpapasan dengan kendaraan pribadi masyarakat, truk pengangkut karet, ataupun mobil modifikasi angkutan penumpang .
            Desa Pagar Agung adalah desa pertama di Kecamatan Pseksu yang dimasuki, bersebelahan dengan Desa Lubuk Mabar, ibukota kecamatan. Deretan rumah panggung, berbahan baku kayu beratap genteng, menyambut kehadiran pendatang. Beberapa warung pinggir jalan yang menyatu dengan rumah penduduk, dihiasi juga dengan antik-antik (bangku bambu tempat kumpul warga), tampak begitu asri dengan kesunyian dan kedamaian desa, yang sesekali dihiasi gemericik Sungai Saling. Tiga desa pertama yang dimasuki seolah bertaut menjadi satu komplek pemukiman, itulah Desa Pagar Agung, Desa Lubuk Mabar, dan Desa Tanjung Raya.  Lapangan luas di halaman kantor kecamatan, menjadi pertanda bahwa ini adalah pusat pemerintahan di Pseksu.
            Selepas dari ibukota kecamatan, perjalanan akan menjumpai desa berikutnya yaitu Batu Niding, Talang Tinggi, Sukajadi, dan terakhir ke Desa Penandingan. Desa ini bukan jalan buntu, karena diujungnya akan bertemu dengan desa lain yang masuk wilayah Kecamatan Kikim Selatan.  Semua desa ini berada dalam satu jalur jalan raya, sehingga sangat mudah untuk dilalui. Di wilayah ini, gemericik Sungai Saling sudah berganti dengan aliran Sungai Empayang. Walau demikian terdapat tiga desa yang posisinya terpisah dari rangkaian wilayah ini, namun masih masuk areal Pseksu, yaitu Desa Lubuk Atung, Lubuk Tuba, dan Muara Cawang. Jalan raya lah yang membedakan, namun jika ditarik garis lurus, sebenarnya sebelas desa di Pseksu berada dalam satu lingkaran.
            Kecamatan Pseksu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan wilayah lain di Kabupaten Lahat. Dengan jumlah penduduk berkisar 10.294 di tahun 2015 dan luas wilayah 267,53 km2, terbagi atas 11 desa, maka daerah ini tergolong masih renggang dalam segi kepadatan penduduk, namun terus berkembang dari sisi ekonomi.
Lazimnya daerah uluan, maka andalan utama daerah ini adalah sektor pertanian berbasis alam. Tanaman karet, kopi, dan diselingi dengan rerimbunan pohon duku dan durian, menjadi pemandangan biasa. Sesuatu yang sedikit berbeda dari persepsi tentang Lahat selama ini, di Pseksu bisa dikatakan minim bahkan tidak ada perusahaan besar beroperasi, baik perusahaan tambang batubara ataupun perkebunan. Usaha yang dikembangkan murni adalah kegiatan ekonomi rakyat setempat. Oleh karena itu, lahan-lahan yang ada, umumnya dikelola dan dikuasai masyarakat setempat. Penguasaan lahan dalam jumlah besar, paling-paling hanya dilakukan oleh Toke, yang sejatinya adalah warga lokal juga.
Pada konteks ini juga kita bisa katakan bahwa apabila selama ini Lahat dikenal sebagai kabupaten produsen batubara, nyatanya itu hanya secuil dari Lahat. Pseksu, teus ke arah Kikim Area, sangat jarang dan bahkan hampir tidak ditemukan lalu lalang truk batubara. Namun, apakah dengan ketiadaan sumber daya tambang tersebut, lantas kita akan katakan daerah ini miskin, pembangunannya lambat, ataupun akses menjadi sulit? Nyatanya tidak. Perjalanan menyusuri wilayah Pseksu, sebagian Kikim Timur dan Kikim Selatan, menunjukkan bahwa masyarakat setempat justru tampak lebih leluasa dalam mengembangkan sektor ekonominya.
Luas lahan perkebunan masyarakat di Pseksu tercatat 7.839 Ha, sementara sawah hanya berkisar 270 Ha. Lahan pertanian umumnya dimanfaatkan untuk perkebunan karet sebagai tanaman utama, kopi sebagai penunjang, dan tanaman lain sebagai selingan. Posisinya berada di sekitar pemukiman di masing-masing dusun yang ada. Hampir semua warga Pseksu mengusahakan jenis perkebunan ini. Selain itu, di daerah ini juga banyak dikembangkan peternakan sapi yang dilakukan oleh beberapa rumah tangga. Memang, di saat harga karet saat ini sedang anjlok, ekonomi warga sangat terasa terganggu. Untunglah mereka masih memiliki cadangan kebun kopi, buah-buahan, ternak, dan sawah. Ini terasa sangat membantu bagi warga setempat.
Mengapa Pseksu bisa tetap bertahan kendati dalam kondisi yang tidak menguntungkan? Banyak hal yang bisa dijadikan alasan. Pertama, hampir semua lahan yang ada adalah milik warga setempat, bukan perusahaan ataupun pemodal besar luar daerah. Artinya, kedaulatan warga terhadap lahannya tetap kuat, yang menyebabkan mereka bisa terus mengusahakan secara bebas. Kedua, akses transportasi jalan raya yang sudah diaspal dan bisa dimasuki semua jenis kendaraan, menjadi faktor utama memudahkan keluar masuk hasil bumi di Pseksu. Terhadap ini, kita harus akui kerja Pemkab Lahat, karena pengaspalan jalan secara keseluruhan dilaksanakan sejak 2013 lalu. Ketiga, jaringan informasi dan komunikasi yang begitu lancar di seluruh desa di Pseksu membuat masyarakat setempat menjadi melek informasi dan bisa mengupdate informasi setiap saat. Keempat, aliran listrik dari PLN yang menyala 24 jam, ikut membantu mendorong pergerakan ekonomi masyarakat, kendati kasus byar pet listrik tetap saja hadir saban hari. Namun setidaknya, beberapa sektor ekonomi warga sudah mulai bergerak. Kelima, ekonomi masyarakat cenderung bersifat multikultur bukan monokultur yang hanya bergantung pada karet. Adanya kopi, duku, durian, ternak, sawah, kakao, cukup membantu, ketika sektor karet sedang terpuruk.
Sekali lagi, bisa dikatakan menyusuri wilayah Pseksu, dan wilayah-wilayah lain di Lahat yang selama ini tidak tersentuh oleh invasi berbagai perusahaan besar, akan membawa kita pada realitas bahwa pembangunan itu jantungnya ada di masyarakat. Merekalah yang menjalankan, merasakan, dan menikmatinya. Bersyukurlah Pseksu karena didaerahnya tidak ada sumber batubara, yang membuat warga menjadi leluasa untuk bertani, berkebon, beternak, tanpa mesti khawatir pencemaran lingkungan, ataupun cemas jika terkena kemacetan, khawatir jika tertabrak angkutan batubara. Beruntunglah daerah seperti ini, setidaknya kedaulatan rakyat atas lahannya itu, terlihat cukup nyata. Dukungan dari pemerintah daerah setempat menjadi kunci untuk tetap kukuh menjaga keasrian dan kedamaian yang selama ini terjaga.






[1] Tulisan ini sudah dimuat di HU Beritapagi, 24-25 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar