Pseksu, Sisi
Lain Lahat[1]
Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si.
(Doktor Ilmu Komunikasi UIN Raden Fatah)
Awal
Februari lalu, saya mengantarkan 3 kelompok mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN)
ke Kabupaten Lahat, tepatnya di Kecamatan Pseksu. Nama ini agak unik karena
sekilas bukanlah bahasa daerah setempat. Pseksu ternyata adalah singkatan dari
Penjalang Suku Empayang Kikim Saling Ulu. Membaca nama ini, kita akan
bersepakat bahwa Pseksu adalah salah satu daerah tertua di Lahat. Tak
dipungkiri memang karena daerah ini, yang awalnya bergabung dengan Kecamatan
Lahat, punya sejarah panjang terkait keberadaan masyarakat di negeri seribu
situs ini.
Nama
Pseksu menunjukkan realitas bahwa komunitas masyarakat lokal di Sumatera
Selatan ini, senantiasa terhubungkan dengan jalur perairan yaitu sungai.
Kabupaten Lahat sendiri termasuk salah satu daerah yang menjadi bagian hulu
dari berbagai jalur sungai di Sumsel lainnya. Semua nama yang disingkat pada
kata Pseksu menunjukkan nama sungai yaitu Sungai Empayang, Sungai Kikim dan
Sungai Saling. Penjalang sendiri dalam bahasa Besemah bisa dimaknai sebagai
berpindah atau berjalan. Punya kemiripan dengan istilah lain yaitu “pemidang”.
Menurut sejarahnya memang beberapa desa di Pseksu adalah komunitas yang
berpindah dari daerah lain. Hal ini diyakini berlangsung sejak zaman puyang
dahulu kala.
Memasuki
daerah Pseksu tidaklah sulit. Dari kota Lahat, menyusuri jalur jalan lintas
Sumatera mengarah ke Kikim dan Lubuk Linggau. Kelok liku jalan yang bersejarah
ini akan mengantarkan kita memasuki daerah Kikim Timur. Di beberapa titik
terdapat badan jalan mengalami longsor
yang tergerus oleh derasnya air hujan. Kiri kanan jalan didominasi oleh kebun
karet rakyat dan kerimbunan pohon bambu. Agak berbeda dengan jalur dari Lahat
ke Muara Enim, maka di jalur ini sangat jarang ditemukan truk pengangkut
batubara. Agaknya lokasi eskploitasi “emas hitam” ini tidak terdapat di wilayah
tersebut.
Sekitar
30 km perjalanan, kita akan menjumpai sebuah jembatan panjang, yang konon juga
menjadi saksi sejarah perjuangan masyarakat Lahat dan Sumsel semasa perang
kemerdekaan dulu. Itulah Jembatan Bunga Mas yang melintasi alur Sungai Kikim.
Di titik ini kita sudah berada di jantung “Kikim Area”, tepatnya di ibukota
Kecamatan Kikim Timur. Di ujung jembatan, sebuah persimpangan jalan kecil
membelok ke kiri. Itulah jalur menuju Kecamatan Pseksu. Jalan besar Lintas Sumatera
langsung berganti dengan jalan kecil seukuran badan mobil. Lazim disebut dengan
jalan kecamatan.
Memasuki
jalur ini, kita kemudian harus mengakui, salah satu perbedaan utama Kabupaten
Lahat dibandingkan dengan kabupaten lain di Sumsel, adalah akses jalan yang
relatif bagus dan bisa dilalui kendaraan apapun. Jalan ini memang jalan
kecamatan, bahkan di beberapa tempat bisa disebut jalan desa, tetapi semua ruas
jalan sudah diaspal, tak ada lagi jalan yang berupa medan off road. Beberapa titik memang ada lobang-lobang, tetapi tidak
tersulit bagi kendaraan untuk melewatinya.
Dari
simpang Jembatan Bunga Mas (penduduk setempat menyebutnya Simpang Muara Danau)
menuju ibukota kecamatan Pseksu, sekitar 3 km, jarak yang tidak terlalu jauh
dan mudah untuk dilewati. Tetapi, khas daerah uluan, tanjakan, turunan dan
kelok liku jalan, adalah sesuatu yang lumrah. Beberapa kali kita akan
berpapasan dengan kendaraan pribadi masyarakat, truk pengangkut karet, ataupun
mobil modifikasi angkutan penumpang .
Desa
Pagar Agung adalah desa pertama di Kecamatan Pseksu yang dimasuki, bersebelahan
dengan Desa Lubuk Mabar, ibukota kecamatan. Deretan rumah panggung, berbahan
baku kayu beratap genteng, menyambut kehadiran pendatang. Beberapa warung
pinggir jalan yang menyatu dengan rumah penduduk, dihiasi juga dengan antik-antik (bangku bambu tempat kumpul
warga), tampak begitu asri dengan kesunyian dan kedamaian desa, yang sesekali
dihiasi gemericik Sungai Saling. Tiga desa pertama yang dimasuki seolah bertaut
menjadi satu komplek pemukiman, itulah Desa Pagar Agung, Desa Lubuk Mabar, dan
Desa Tanjung Raya. Lapangan luas di
halaman kantor kecamatan, menjadi pertanda bahwa ini adalah pusat pemerintahan
di Pseksu.
Selepas
dari ibukota kecamatan, perjalanan akan menjumpai desa berikutnya yaitu Batu
Niding, Talang Tinggi, Sukajadi, dan terakhir ke Desa Penandingan. Desa ini
bukan jalan buntu, karena diujungnya akan bertemu dengan desa lain yang masuk
wilayah Kecamatan Kikim Selatan. Semua
desa ini berada dalam satu jalur jalan raya, sehingga sangat mudah untuk
dilalui. Di wilayah ini, gemericik Sungai Saling sudah berganti dengan aliran
Sungai Empayang. Walau demikian terdapat tiga desa yang posisinya terpisah dari
rangkaian wilayah ini, namun masih masuk areal Pseksu, yaitu Desa Lubuk Atung,
Lubuk Tuba, dan Muara Cawang. Jalan raya lah yang membedakan, namun jika
ditarik garis lurus, sebenarnya sebelas desa di Pseksu berada dalam satu lingkaran.
Kecamatan
Pseksu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan wilayah lain di Kabupaten Lahat.
Dengan jumlah penduduk berkisar 10.294 di tahun 2015 dan luas wilayah 267,53 km2, terbagi atas 11 desa, maka daerah ini tergolong
masih renggang dalam segi kepadatan penduduk, namun terus berkembang dari sisi
ekonomi.
Lazimnya
daerah uluan, maka andalan utama daerah ini adalah sektor pertanian berbasis
alam. Tanaman karet, kopi, dan diselingi dengan rerimbunan pohon duku dan
durian, menjadi pemandangan biasa. Sesuatu yang sedikit berbeda dari persepsi
tentang Lahat selama ini, di Pseksu bisa dikatakan minim bahkan tidak ada
perusahaan besar beroperasi, baik perusahaan tambang batubara ataupun
perkebunan. Usaha yang dikembangkan murni adalah kegiatan ekonomi rakyat
setempat. Oleh karena itu, lahan-lahan yang ada, umumnya dikelola dan dikuasai
masyarakat setempat. Penguasaan lahan dalam jumlah besar, paling-paling hanya
dilakukan oleh Toke, yang sejatinya adalah warga lokal juga.
Pada
konteks ini juga kita bisa katakan bahwa apabila selama ini Lahat dikenal
sebagai kabupaten produsen batubara, nyatanya itu hanya secuil dari Lahat.
Pseksu, teus ke arah Kikim Area, sangat jarang dan bahkan hampir tidak
ditemukan lalu lalang truk batubara. Namun, apakah dengan ketiadaan sumber daya
tambang tersebut, lantas kita akan katakan daerah ini miskin, pembangunannya
lambat, ataupun akses menjadi sulit? Nyatanya tidak. Perjalanan menyusuri
wilayah Pseksu, sebagian Kikim Timur dan Kikim Selatan, menunjukkan bahwa
masyarakat setempat justru tampak lebih leluasa dalam mengembangkan sektor
ekonominya.
Luas lahan
perkebunan masyarakat di Pseksu tercatat 7.839 Ha, sementara sawah hanya
berkisar 270 Ha. Lahan pertanian umumnya dimanfaatkan untuk perkebunan karet
sebagai tanaman utama, kopi sebagai penunjang, dan tanaman lain sebagai
selingan. Posisinya berada di sekitar pemukiman di masing-masing dusun yang
ada. Hampir semua warga Pseksu mengusahakan jenis perkebunan ini. Selain itu,
di daerah ini juga banyak dikembangkan peternakan sapi yang dilakukan oleh
beberapa rumah tangga. Memang, di saat harga karet saat ini sedang anjlok,
ekonomi warga sangat terasa terganggu. Untunglah mereka masih memiliki cadangan
kebun kopi, buah-buahan, ternak, dan sawah. Ini terasa sangat membantu bagi
warga setempat.
Mengapa
Pseksu bisa tetap bertahan kendati dalam kondisi yang tidak menguntungkan?
Banyak hal yang bisa dijadikan alasan. Pertama,
hampir semua lahan yang ada adalah milik warga setempat, bukan perusahaan
ataupun pemodal besar luar daerah. Artinya, kedaulatan warga terhadap lahannya
tetap kuat, yang menyebabkan mereka bisa terus mengusahakan secara bebas. Kedua, akses transportasi jalan raya
yang sudah diaspal dan bisa dimasuki semua jenis kendaraan, menjadi faktor
utama memudahkan keluar masuk hasil bumi di Pseksu. Terhadap ini, kita harus
akui kerja Pemkab Lahat, karena pengaspalan jalan secara keseluruhan
dilaksanakan sejak 2013 lalu. Ketiga, jaringan
informasi dan komunikasi yang begitu lancar di seluruh desa di Pseksu membuat
masyarakat setempat menjadi melek informasi dan bisa mengupdate informasi setiap saat. Keempat,
aliran listrik dari PLN yang menyala 24 jam, ikut membantu mendorong
pergerakan ekonomi masyarakat, kendati kasus byar pet listrik tetap saja hadir saban hari. Namun setidaknya,
beberapa sektor ekonomi warga sudah mulai bergerak. Kelima, ekonomi masyarakat cenderung bersifat multikultur bukan
monokultur yang hanya bergantung pada karet. Adanya kopi, duku, durian, ternak,
sawah, kakao, cukup membantu, ketika sektor karet sedang terpuruk.
Sekali
lagi, bisa dikatakan menyusuri wilayah Pseksu, dan wilayah-wilayah lain di
Lahat yang selama ini tidak tersentuh oleh invasi berbagai perusahaan besar, akan
membawa kita pada realitas bahwa pembangunan itu jantungnya ada di masyarakat.
Merekalah yang menjalankan, merasakan, dan menikmatinya. Bersyukurlah Pseksu
karena didaerahnya tidak ada sumber batubara, yang membuat warga menjadi
leluasa untuk bertani, berkebon, beternak, tanpa mesti khawatir pencemaran
lingkungan, ataupun cemas jika terkena kemacetan, khawatir jika tertabrak
angkutan batubara. Beruntunglah daerah seperti ini, setidaknya kedaulatan
rakyat atas lahannya itu, terlihat cukup nyata. Dukungan dari pemerintah daerah
setempat menjadi kunci untuk tetap kukuh menjaga keasrian dan kedamaian yang
selama ini terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar