Hakim sebagai
Komunikator
Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si.
(Doktor Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah)
Hakim
Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Parlas Nababan menjatuhkan vonis yang
membatalkan semua tuntutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH), 30 Desember 2015 lalu. Akibatnya, PT BMH
yang awalnya dituduh terlibat dalam pembakaran lahan dan hutan tahun 2014, yang
menjadi salah satu penyebab kabut asap di Sumsel, dinyatakan tak bersalah. Jauh
sebelum kasus Hakim Parlas, pernah pula hakim Sarpin mengambil keputusan untuk
menerima pra peradilan yang diajukan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan,
yang berakibat pada bebasnya sang jenderal dari status tersangka korupsi yang
sudah ditetapkan KPK. Selain dua kasus yang cukup menyita perhatian publik ini,
banyak pula kasus-kasus lain yang dinilai banyak pihak mencederai rasa keadilan
publik. Intinya adalah, sang hakim dianggap publik tidak mengambil keputusan
secara adil.
Buntut
dari keputusan tersebut, publik ramai-ramai mencerca sang hakim, mencaci maki,
membully dengan berbagai cara. Yang
paling heboh tentu saja melalui media sosial, seperti facebook, twitter, WA, dan sebagainya. Hampir semuanya memberikan
tohokan yang sama, hakim telah tidak adil dalam mengambil keputusan. Pada kasus
PT BMH, kekecewaan terhadap Hakim Parlas, tidak saja melalui media sosial, di
beberapa tempat di Kota Palembang, ditempeli poster bergambar Hakim Parlas,
dilengkapi dengan kalimat yang menyatakan kekesalan terhadap dirinya.
Apa
yang bisa dimaknai dari semua peristiwa tersebut? Para pakar hukum tentu saja
akan membahasnya dari sisi hukum, membahas materi gugatan dan proses peradilan
yang berlangsung. Lewat kacamata dan sudut pandang masing-masing, banyak
analisa akan muncul. Tetapi, selain dari soal hukum, mari kita lihat sisi lain.
Saya menyebutnya bahwa saat ini, hakim, mau tidak mau, sudah harus memposisikan
diri sebagai seorang komunikator dalam komunikasi publik. Segala keputusan
hakim, terutama untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan kepentingan publik,
akan disoroti dan dicermati. Masyarakat akan memaknai segala keputusan, dan makna
itu akan dihubungkan dengan pengetahuannya tentang kasus tersebut. Benar atau
tidaknya makna tersebut, tidaklah penting, yang jelas publik akan memberikan
interpretasinya sendiri.
Hal
seperti ini tentu saja menjadi sangat dilematis. Bagi hakim, selalu ada dua
pilihan ketika memutuskan sesuatu, dipuja atau justru dicerca. Ia akan dipuja
ketika putusannya memiliki korelasi dengan opini publik yang sudah terbangun
sejak awal, sebaliknya ia akan dicerca dan dicemooh ketika itu berbeda. Hakim
Parlas dan hakim Sarpin sudah merasakan itu, dan banyak contoh kasus lainnya,
seperti hakim Imron Anwari yang pernah membebaskan tersangka bandar narkotika.
Resiko profesi, itulah jawaban terbaik untuk membesarkan hati.
Pada
konteks inilah saya ingin katakan bahwa saat ini, mau tidak mau, suka tidak
suka, hakim sudah menjadi seorang komunikator, orang yang berkomunikasi dengan
publik melalui profesinya, dan tertuang dalam putusannya. Memang dalam Kode Etik dan Pedoman Prilaku
Hakim yang sudah disepakati oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, disebutkan
bahwa hakim bersifat mandiri, independen dan tidak boleh terpengaruh oleh
apapun sehubungan dengan perkara yang disidangkannya. Bahkan secara tegas disebutkan bahwa hakim tidak
dibenarkan memberikan keterangan apapun sehubungan perkara. Artinya hakim hanya
berbicara pada saat persidangan saja. Di luar itu, hakim tidak boleh memberikan
komentar, termasuk pula disini adalah membela diri dari cemoohan masyarakat.
Tetapi
disini pulalah kita harus mengakui bahwa perkembangan rezim yang berlaku,
perubahan iklim politik dan sosial masyarakat, menyebabkan masyarakat memiliki
kuasa baru untuk ikut menilai putusan seorang hakim dan bahkan menilai sang
hakim. Persidangan yang diharuskan bersifat terbuka, akses lembaga media massa
yang begitu mudah, akses informasi yang berlimpah, serta adanya jejaring media
sosial, memungkinkan publik memperbincangkan suatu kasus dengan banyak orang di
seluruh dunia, berpengaruh sekali terhadap kiprah lembaga penegak hukum ini.
Kesakralan lembaga kehakiman, yang dijaman dulu begitu ditakuti, sekarang
justru sudah mencair dan orang bisa berkata apa saja tanpa takut ataupun merasa
terancam.
Saat
ini, kiranya sulit bagi hakim untuk tetap berlindung dan berpegang pada norma
kode etik yang menyebutkan bahwa hakim dilarang berkomentar. Manusiawi saja,
orang mana yang akan tahan jika dihina, dibully,
dicaci dengan berbagai macam perkataan. Pada titik ini, harus diakui bahwa
hakim itu juga manusia, punya keluarga, punya lingkungan sosial, dan sebagainya.
Tetapi memang dilema itu akan tetap muncul, di satu sisi ada tuntutan publik,
disisi lain ada realitas fakta persidangan yang harus dicermati hakim sebagai
dasar pengambilan putusan dan itu diikat pula oleh Kode Etik dan Pedoman
Prilaku Hakim.
Oleh
karena itu, memahami bahwa posisi hakim saat ini sudah menjadi seorang
komunitor harus dilihat dengan baik. Dalam keilmuan komunikasi, komunikator ini
adalah orang yang melakukan komunikasi, dan dalam perspektif komunikasi linear
ataupun interaksional, komunikator ini adalah pihak yang memulai komunikasi dan
kemudian direspon oleh pihak lain. Sementara inti dari komunikasi sendiri
adalah persepsi, yang disejajarkan pula dengan istilah pemaknaan pesan.
Komunikasi sudah dianggap terjadi, saat pesan sudah dimaknai. Disadari atau
tidak, diketahui atau tidak oleh pelakunya, saat pihak lain memaknai aktifitas
orang lain, maka saat itulah komunikasi sudah terjadi.
Menjadi
jelas, bahwa saat seorang hakim membacakan putusannya di depan banyak orang,
disiarkan stasiun TV atau dituliskan pada berita di koran atau disampaikan pula
oleh radio, maka saat itu komunikasi sudah terjadi. Indikasinya adalah publik
sudah memberikan penilaian/pemaknaan terhadap hakim tersebut. Hakim mungkin
tidak menyadari bahwa ia sedang berkomunikasi dengan publik, tetapi
sebenarnyalah itu sudah terjadi. Oleh karena itu, jangan pernah menganggap
tidak ada orang lain, karena publik senantiasa menyoroti. Munculnya bully terhadap hakim di media sosial,
termasuk penempelan poster di ruang publik, adalah bentuk pemaknaan publik
terhadap sang hakim.
Pada
dasarnya, hakim bisa menjawab hal itu dengan berpegang teguh pada norma yang
ada, serta mematuhi ketentuan perundang-undangan itu sendiri. Aspek terpenting
adalah taat pada prinsip dasar etika hakim, yang dua hal terpenting yaitu
prinsip arif dan bijaksana, serta prinsip bersikap profesional. Hakim dituntut
untuk senantiasa melek terhadap semua realitas yang ada, termasuk realitas di
masyarakat, bukan hanya pada bukti di persidangan semata. Pengetahuan hakim
terhadap kenyataan di masyarakat, tentu saja akan ikut bermain pada wilayah
subjektifitasnya. Memang, realitas di masyarakat, termasuk opini publik,
bersifat relatif dan cair, bahkan juga bisa menjadi bias. Disinilah perlunya
pengetahuan dan kearifan seorang hakim. Mengapa ini perlu dipertimbangkan?
Karena hakim sekarang sudah menjadi seorang komunikator, yang tidak lagi
sekedar memakai kacamata kuda pada persidangan semata.
Apalagi
untuk kasus-kasus tertentu, seperti kasus lingkungan, fakta-fakta lain di
masyarakat sangat berhubungan. Lingkungan berhubungan dan dirasakan
kerusakannya oleh masyarakat. Persoalan lingkungan tidak pernah berdiri
sendiri, karena ia adalah sebuah ekosistem, yang berkait dan berkelindan dengan
banyak aspek. Karenanya, kebenaran versi masyarakat perlu pula dipertimbangkan.
Sekali
lagi, semua ini akan menjadi sangat dilematis dan mungkin jadi perdebatan,
tetapi tak ada pilihan lain bahwa hakim sekarang ini sudah menjadi seorang
komunikator, dan itu mesti disadari oleh para hakim. Keputusan seadil-adilnya
tetaplah yang nomor satu, karena itu adalah tugasnya hakim. Harapan kita,
dengan dengan memahami posisi sebagai komunikator, akan semakin meningkatkan
kualitas keputusan yang adil tersebut. Semoga.
*) Tulisan ini sudah dimuat di harian Sriwijaya
Post, Senin 18 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar