SELAMAT DATANG ...

SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN BLOG PRIBADI SAYA, MARI BERBAGI INFORMASI DAN PENGALAMAN

Minggu, 17 Januari 2016

Opini

Hakim sebagai Komunikator
Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si.
(Doktor Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah)

           
            Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Parlas Nababan menjatuhkan vonis yang membatalkan semua tuntutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH), 30 Desember 2015 lalu. Akibatnya, PT BMH yang awalnya dituduh terlibat dalam pembakaran lahan dan hutan tahun 2014, yang menjadi salah satu penyebab kabut asap di Sumsel, dinyatakan tak bersalah. Jauh sebelum kasus Hakim Parlas, pernah pula hakim Sarpin mengambil keputusan untuk menerima pra peradilan yang diajukan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, yang berakibat pada bebasnya sang jenderal dari status tersangka korupsi yang sudah ditetapkan KPK. Selain dua kasus yang cukup menyita perhatian publik ini, banyak pula kasus-kasus lain yang dinilai banyak pihak mencederai rasa keadilan publik. Intinya adalah, sang hakim dianggap publik tidak mengambil keputusan secara adil.

            Buntut dari keputusan tersebut, publik ramai-ramai mencerca sang hakim, mencaci maki, membully dengan berbagai cara. Yang paling heboh tentu saja melalui media sosial, seperti facebook, twitter, WA, dan sebagainya. Hampir semuanya memberikan tohokan yang sama, hakim telah tidak adil dalam mengambil keputusan. Pada kasus PT BMH, kekecewaan terhadap Hakim Parlas, tidak saja melalui media sosial, di beberapa tempat di Kota Palembang, ditempeli poster bergambar Hakim Parlas, dilengkapi dengan kalimat yang menyatakan kekesalan terhadap dirinya.
            Apa yang bisa dimaknai dari semua peristiwa tersebut? Para pakar hukum tentu saja akan membahasnya dari sisi hukum, membahas materi gugatan dan proses peradilan yang berlangsung. Lewat kacamata dan sudut pandang masing-masing, banyak analisa akan muncul. Tetapi, selain dari soal hukum, mari kita lihat sisi lain. Saya menyebutnya bahwa saat ini, hakim, mau tidak mau, sudah harus memposisikan diri sebagai seorang komunikator dalam komunikasi publik. Segala keputusan hakim, terutama untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan kepentingan publik, akan disoroti dan dicermati. Masyarakat akan memaknai segala keputusan, dan makna itu akan dihubungkan dengan pengetahuannya tentang kasus tersebut. Benar atau tidaknya makna tersebut, tidaklah penting, yang jelas publik akan memberikan interpretasinya sendiri.
            Hal seperti ini tentu saja menjadi sangat dilematis. Bagi hakim, selalu ada dua pilihan ketika memutuskan sesuatu, dipuja atau justru dicerca. Ia akan dipuja ketika putusannya memiliki korelasi dengan opini publik yang sudah terbangun sejak awal, sebaliknya ia akan dicerca dan dicemooh ketika itu berbeda. Hakim Parlas dan hakim Sarpin sudah merasakan itu, dan banyak contoh kasus lainnya, seperti hakim Imron Anwari yang pernah membebaskan tersangka bandar narkotika. Resiko profesi, itulah jawaban terbaik untuk membesarkan hati.
            Pada konteks inilah saya ingin katakan bahwa saat ini, mau tidak mau, suka tidak suka, hakim sudah menjadi seorang komunikator, orang yang berkomunikasi dengan publik melalui profesinya, dan tertuang dalam putusannya.  Memang dalam Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim yang sudah disepakati oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, disebutkan bahwa hakim bersifat mandiri, independen dan tidak boleh terpengaruh oleh apapun sehubungan dengan perkara yang disidangkannya.  Bahkan secara tegas disebutkan bahwa hakim tidak dibenarkan memberikan keterangan apapun sehubungan perkara. Artinya hakim hanya berbicara pada saat persidangan saja. Di luar itu, hakim tidak boleh memberikan komentar, termasuk pula disini adalah membela diri dari cemoohan masyarakat.
            Tetapi disini pulalah kita harus mengakui bahwa perkembangan rezim yang berlaku, perubahan iklim politik dan sosial masyarakat, menyebabkan masyarakat memiliki kuasa baru untuk ikut menilai putusan seorang hakim dan bahkan menilai sang hakim. Persidangan yang diharuskan bersifat terbuka, akses lembaga media massa yang begitu mudah, akses informasi yang berlimpah, serta adanya jejaring media sosial, memungkinkan publik memperbincangkan suatu kasus dengan banyak orang di seluruh dunia, berpengaruh sekali terhadap kiprah lembaga penegak hukum ini. Kesakralan lembaga kehakiman, yang dijaman dulu begitu ditakuti, sekarang justru sudah mencair dan orang bisa berkata apa saja tanpa takut ataupun merasa terancam.
            Saat ini, kiranya sulit bagi hakim untuk tetap berlindung dan berpegang pada norma kode etik yang menyebutkan bahwa hakim dilarang berkomentar. Manusiawi saja, orang mana yang akan tahan jika dihina, dibully, dicaci dengan berbagai macam perkataan. Pada titik ini, harus diakui bahwa hakim itu juga manusia, punya keluarga, punya lingkungan sosial, dan sebagainya. Tetapi memang dilema itu akan tetap muncul, di satu sisi ada tuntutan publik, disisi lain ada realitas fakta persidangan yang harus dicermati hakim sebagai dasar pengambilan putusan dan itu diikat pula oleh Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim.
            Oleh karena itu, memahami bahwa posisi hakim saat ini sudah menjadi seorang komunitor harus dilihat dengan baik. Dalam keilmuan komunikasi, komunikator ini adalah orang yang melakukan komunikasi, dan dalam perspektif komunikasi linear ataupun interaksional, komunikator ini adalah pihak yang memulai komunikasi dan kemudian direspon oleh pihak lain. Sementara inti dari komunikasi sendiri adalah persepsi, yang disejajarkan pula dengan istilah pemaknaan pesan. Komunikasi sudah dianggap terjadi, saat pesan sudah dimaknai. Disadari atau tidak, diketahui atau tidak oleh pelakunya, saat pihak lain memaknai aktifitas orang lain, maka saat itulah komunikasi sudah terjadi.
            Menjadi jelas, bahwa saat seorang hakim membacakan putusannya di depan banyak orang, disiarkan stasiun TV atau dituliskan pada berita di koran atau disampaikan pula oleh radio, maka saat itu komunikasi sudah terjadi. Indikasinya adalah publik sudah memberikan penilaian/pemaknaan terhadap hakim tersebut. Hakim mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang berkomunikasi dengan publik, tetapi sebenarnyalah itu sudah terjadi. Oleh karena itu, jangan pernah menganggap tidak ada orang lain, karena publik senantiasa menyoroti. Munculnya bully terhadap hakim di media sosial, termasuk penempelan poster di ruang publik, adalah bentuk pemaknaan publik terhadap sang hakim.
            Pada dasarnya, hakim bisa menjawab hal itu dengan berpegang teguh pada norma yang ada, serta mematuhi ketentuan perundang-undangan itu sendiri. Aspek terpenting adalah taat pada prinsip dasar etika hakim, yang dua hal terpenting yaitu prinsip arif dan bijaksana, serta prinsip bersikap profesional. Hakim dituntut untuk senantiasa melek terhadap semua realitas yang ada, termasuk realitas di masyarakat, bukan hanya pada bukti di persidangan semata. Pengetahuan hakim terhadap kenyataan di masyarakat, tentu saja akan ikut bermain pada wilayah subjektifitasnya. Memang, realitas di masyarakat, termasuk opini publik, bersifat relatif dan cair, bahkan juga bisa menjadi bias. Disinilah perlunya pengetahuan dan kearifan seorang hakim. Mengapa ini perlu dipertimbangkan? Karena hakim sekarang sudah menjadi seorang komunikator, yang tidak lagi sekedar memakai kacamata kuda pada persidangan semata.
            Apalagi untuk kasus-kasus tertentu, seperti kasus lingkungan, fakta-fakta lain di masyarakat sangat berhubungan. Lingkungan berhubungan dan dirasakan kerusakannya oleh masyarakat. Persoalan lingkungan tidak pernah berdiri sendiri, karena ia adalah sebuah ekosistem, yang berkait dan berkelindan dengan banyak aspek. Karenanya, kebenaran versi masyarakat perlu pula dipertimbangkan.
            Sekali lagi, semua ini akan menjadi sangat dilematis dan mungkin jadi perdebatan, tetapi tak ada pilihan lain bahwa hakim sekarang ini sudah menjadi seorang komunikator, dan itu mesti disadari oleh para hakim. Keputusan seadil-adilnya tetaplah yang nomor satu, karena itu adalah tugasnya hakim. Harapan kita, dengan dengan memahami posisi sebagai komunikator, akan semakin meningkatkan kualitas keputusan yang adil tersebut. Semoga.
*) Tulisan ini sudah dimuat di harian Sriwijaya Post, Senin 18 Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar