Spirit
Lingkungan dari Talang Tuwo[1]
Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si.
(Doktor Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah)
Beberapa waktu lalu, sejumlah
kalangan di Sumatera Selatan mencoba membangkitkan batang terendam, menelusuri
keberadaan Prasasti Talang Tuwo, yang diyakini dibuat semasa Kerajaan
Sriwijaya, Abad ke-7 M silam. Lokasinya berada di sekitar daerah Talang Kelapa
saat ini. Prasasti aslinya sendiri sudah lama dipindahkan ke Arsip Nasional
Jakarta. Tetapi lokasi ditemukannya prasasti tersebut, hanya sebagian kecil
yang tahu tempatnya.
Prasasti Talang Tuwo bisa
dikatakan adalah salah satu bukti sejarah terbesar yang ditinggalkan oleh
Kerajaan Sriwijaya, karena berisi tulisan yang cukup panjang dibandingkan
prasasti lain yang sudah ditemukan sebelumnya. Isi dari prasasti ini juga
memiliki perbedaan dari prasasti lain, yaitu fokus pada penataan lingkungan dan
pembuatan taman-taman. Intinya bicara tentang bagaimana lingkungan harus
dikelola, ditata dan dimanfaatkan. Baginda Sri Jayanasa adalah tokoh utama yang
disebutkan dalam prasasti tersebut, yang mempelopori pendirian Taman Sriksetra.
Masalah sejarah atau pentingnya
Prasasti Talang Tuwo sebagai bukti kebesaran peradaban jaman dulu, tentunya ini
sudah banyak diketahui publik. Para sejarawan jauh hari sudah menggali da
mengkaji hal tersebut. Tetapi makna apa yang disampaikan oleh batu bertulis
tersebut dan apa relevansinya terhadap persoalan masyarakat saat ini, itu yang
minim diinformasikan. Ini menjadi penting karena sejatinya spirit yang sudah
dibangun oleh para leluhur menjadi begitu aktual, jika melihat realitas masalah
lingkungan sekarang.
Prasasti ini mengawali dengan
mengatakan bahwa “... Semoga segala yang ditanam
di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu dan bermacam-macam pohon, buahnya
dapat dimakan, demikian pula bambu haur, wuluh dan pattum, dan sebagainya; dan
semoga juga taman-taman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya,
dan semua amal yang saya berikan, dapat dipergunakan untuk kebaikan semua
mahluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan
terbaik untuk mendapatkan kebahagiaan...” Naskah di atas dikatakan adalah niat
dari Baginda Sri Jayanasa terhadap taman Srisektra yang akan dibangun.
Perlu
dicatat di sini, tulisan pada batu tersebut ditulis tahun 684 M, 1.332 tahun
yang lalu, seabad lebih. Mari kita membalikkan ingatan, mencoba membayangkan
seperti apa Palembang ini pada masa tersebut. Yang terlintas adalah pepohonan
besar dan kecil, hutan yang lebat, sungai-sungai jernih, besar maupun kecil saling
melintangi daerah ini. Berbagai hewan buas dengan mudahnya hidup dan berkembang
biak, hewan-hewan yang mungkin tidak ditemukan lagi saat ini, hidup secara
bebas. Semak belukar dan hutan belantara masih menyelimuti daerah-daerah
sekitar Talang Kelapa, Sukarami, Alang-Alang Lebar dan lainnya. Keramaian
mungkin hanya ada di sekitar keraton kerajaan saja, selebihnya pondok-pondok
yang dijadikan rumah penduduk. Mungkin ilustrasi itu tidak terlalu tepat,
tetapi saya yakin tidak jauh berbeda dengan apa yang kita bayangkan.
Pada masa itulah, di saat-saat
semuanya masih serba longgar dan lapang, Sang Baginda sebagai pengambil
kebijakan tertinggi sudah menitahkan penataan lingkungan yang apik dan asri.
Makna mendasar adalah kesadaran bahwa lingkungan alam ini adalah untuk
kemakmuran umat manusia, bukan segelintir orang saja. Tidak untuk kerabat
kerajaan saja, tidak pula untuk pemilik modal, tapi untuk semua orang. Sudah ada kesadaran bahwa lingkungan alam ini
akan diwariskan untuk generasi mendatang, yang dalam bahasa sekarang disebut sustainable/berkelanjutan.
Tetapi, realitas yang
disampaikan dalam amanat Prasasti Talang Tuwo, menjadi hilang maknanya di masa
sekarang. Jarang terdengar gagasan penyelamatan dan perlindungan lingkungan
dari petinggi daerah. Kalaupun ada, cenderung menjadi inkonsisten dengan
realitas yang ada. Tahun 2014, kita pernah dengar bahwa tahun 2015, Sumsel
harus zero asap. Faktanya, 2015 justru kabut asap semakin tebal. Maraknya
pembukaan kebun sawit di areal bergambut, jelas merusak ekosistem yang ada,
tapi toh tetap berlangsung. Sudah sama-sama diketahui bahwa eksploitasi
batubara secara besar-besaran tidak memberikan efek positif dominan bagi
masyarakat setempat, namun toh permukaan
bumi semakin gencar digali untuk dikeduk batubaranya. Kemiskinan jadi
meningkat, kriminalitas naik, kemacetan jalan pun semakin parah. Lantas,
dimanakah kemakmurannya?
Era otonomi daerah, sejak
dicanangkan di awal tahun 2000-an dulu, diharapkan bisa membangkitkan ekonomi
masyarakat yang berlandaskan pada kekayaan sumber daya alam. Maka
dilangsungkanlah berbagai pemilihan kepala daerah secara langsung, yang
diharapkan akan memperoleh legitimasi kuat dari masyarakat setempat. Sayangnya,
dari sekian banyak kepala daerah yang sudah terpilih, minim sekali yang mengedepankan
vis penyelamatan lingkungan. Masyarakat tak pernah diajak untuk peduli
lingkungan, karena dari sang kepala daerah sendiri tidak punya visi utama ke
arah sana. Kalaupun ada yang tertulis, fakta di lapangan selalu bertolak
belakang.
Masalah lingkungan, baru menjadi
wilayah kebijakan pada saat malapetaka itu sudah dirasakan. Artinya, grand design yang jelas tentang
lingkungan, belum terlihat. Ini patut dicermati, karena mengelola lingkungan
hidup yang baik, tidaklah bisa dilakukan secara parsial, harus interkoneksi
antar masing-masing instansi. Semisal, BLH daerah selalu meributkan soal limbah
dan pencemaran, tetapi lembaga perizinan terus mengeluarkan rekomendasi. Ini
menjadi inkonsisten dan masalah lingkungan tak pernah selesai.
Grand design adalah titik terpenting dalam pengelolaan lingkungan.
Didalamnya sudah harus tercantum berbagai potensi, masalah, strategi,
tahapan-tahapan, termasuk program kampanye lingkungan. Rancangan ini semestinya
dijadikan panduan bersama tentang pengelolaan LH di sebuah wilayah, bukan hanya
kewenangan satu SKPD semata. Karena itu, visi seorang Kepala Daerah menjadi
penting.
April 2016 ini, BMKG sudah
memprediksi akan dimulainya masa kemarau. Artinya dalam beberapa bulan kedepan,
ancaman kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, sudah didepan mata. Pemerintah
memang sudah menyiapkan berbagai strategi, seperti program Desa Peduli Api,
kanalisasi rawa, penyelamatan kawasan gambut, hingga membentuk tim pendeteksi
dini titik api. Tentang ini, kita patut apresiasi, karena sudah ada program
sedia air sebelum kemarau. Tetapi sekali lagi, program-program yang ada
tersebut, cenderung bersifat menunggu, menanti jikalau kebakaran itu terjadi.
Tekanannya bukan pada wilayah pencegahan.
Yang diinginkan sebenarnya
adalah upaya yang bersifat interkoneksi untuk menjaga dan mengamankan kawasan
di Sumsel dari resiko kebakaran dan kabut asap. Sifatnya bukan menunggu, tetapi
jemput bola agar masalah tidak terjadi. Oleh karena itu, kebijakan yang
bersifat proaktif dan komprehensif sangat diperlukan. Apa yang harus dilakukan?
Titik terpenting adalah, kampanye lingkungan ke semua elemen dan dilakukan oleh
semua unsur, pelibatan masyarakat menjaga kawasannya sejak dini dengan
memanfaatkan untuk lahan produktif, membatasi ekspansi perusahaan perkebunan
besar dengan alasan apapun, konsistensi penegakan hukum dengan memunculkan
kepala daerah yang “berani”. Beberapa hal di atas harus dijadikan dasar dalam
pembuatan grand design, sehingga
tidak lagi seperti pencitraan semata.
Spirit untuk menyelamatkan
lingkungan di bumi Sriwijaya ini, harus dijadikan spirit bersama, disinilah
pentingnya kampanye lingkungan yang sehat. Akan sangat bijak dan baik sekali,
andai pemerintah daerah memiliki komunitas/tim khusus kampanye lingkungan yang
punya kewenangan lintas instansi. Kampanye lingkungan bukan sekedar memasang
spanduk atau himbauan agar tidak merusak lahan, tetapi dimulai dari aksi nyata
yang ada di level kebijakan. Kampanye bukanlah membangun opini publik, tapi
membuktikan kepada publik.
Spirit Talang Tuwo sudah bicara itu. Inilah
yang seharusnya mengilhami berbagai kebijakan yang dibuat. Persoalannya
sekarang, bagaimana pelaku kebijakan di Sumsel, memandang prasasti tersebut
sebagai benda yang punya makna faktual saat ini, bukan sekedar benda bersejarah
yang hanya tersimpan di museum. Aktualiasasi Prasasti Talang Tuwo harus
dimulai, dan kebijakan pemerintahlah yang akan menjadi ujung tombaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar