SELAMAT DATANG ...

SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN BLOG PRIBADI SAYA, MARI BERBAGI INFORMASI DAN PENGALAMAN

Minggu, 27 Juni 2010

Komunikasi Antar Budaya Corporate dan Masyarakat

Persoalan umum yang dihadapi oleh sebuah corporate (investor) di sebuah komunitas masyarakat adalah keterkaitannya dengan masyarakat setempat. Selama ini dikembangkan model CSR (Corporate Social Responsibility) sebagai bentuk kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitar. AKan tetapi persoalan yang muncul adalah kerap terjadi benturan antara kedua pihak. Berbagai kepentingan muncul dalam konteks ini sehingga melahirkan sebuah kompleksitas persoalan baru. Hal utama sering terlupakan adalah bagaimana upaya membangun jalinan interaksi intensif antara kedua pihak dengan memperhatikan aspek budaya kedua kelompok. Pada titik inilah diperlukan sebuah konsep Community Relation pada perusahaan dengan menekankan pada aspek perbedaan budaya. Etika dan nilai-nilai yang dibawa perusahaan selama ini harus diimbangi dengan fleksibilitas dalam berkolaborasi dengan etika dan nilai di masyarakat. Ini yang ditekankan pada sisi Community Relation antara perusahaan dan masyarakat. Sayangnya aspek ini sering diabaikan.

Senin, 21 Juni 2010

TV Lokal dan “Kelokalan”

Oleh : Yenrizal

(Magister Komunikasi dan Dosen Fakultas Dakwah IAIN Raden Fatah)

Sepasang mempelai duduk berjejer, didepannya pengantin wanita di belakang laki-laki. Di sisi kiri dan kanan duduk kedua orang tua dan sanak kerabat. Bergantian mereka menyuapi kedua mempelai diiringi alunan lembut gending sriwijaya. Sesekali terdengar suara protokol melantunkan pantun-pantun berbahasa Palembang. Itulah ritual cacap-cacapan yang selama ini kita saksikan di setiap pesta pernikahan warga Palembang. Namun tak lama lagi, itu akan tampil di rumah kita, di layar televisi.

Era informasi dan otonomi daerah memang memberi peluang bagi munculnya kreatifitas dan usaha ditiap-tiap daerah. Jika selama ini kita hanya mengenal radio siaran sebagai lembaga penyiaran lokal, sekarang televisipun akan segera hadir. Melalui UU No. 32/2002, daerah-daerah diberikan keleluasaan untuk mendirikan stasiun-stasiun televisi lokal. Pengusaha di Palembang segera mensikapinya sebagai sebuah peluang bisnis yang menjanjikan. Sebentar lagi akan hadir yang namanya Sky TV, HK-TV, dan Sriwijaya TV. Bahkan sekarang sudah rutin dalam siaran percobaan, Palembang TV (Pal-TV).

Dalam public hearing yang dirilis di beberapa media cetak, hampir semua stasiun TV tersebut mengajukan konsep kelokalan. Artinya mereka akan memanfaatkan segala potensi yang ada di Sumatera Selatan (Sumsel), mengemasnya dan menyajikannya sebagai sebuah tayangan menarik dan layak jual. Ini memang konsekuensi dari TV lokal, daya jangkau terbatas hanya pada satu wilayah siaran (Provinsi atau Kabupaten/Kota).

Formatnya adalah lembaga penyiaran swasta, bukan penyiaran publik, komunitas, atau berlangganan. Otomatis perhitungannya adalah sisi bisnis dan keuntungan. Ini berbeda dengan TV publik (TVRI) dan TV komunitas yang “diharamkan” menjual acara untuk kepentingan komersil. TV swasta harus bisa menghidupi dirinya sendiri dengan menjual produk acara dan menggaet iklan sebanyak mungkin.

Daya jangkau terbatas, membuat pangsa pasar juga terbatas. Disinilah keunikan dan kelebihan TV lokal. Ketimbang TV berskala nasional, biaya operasional mereka lebih sedikit. Stasiun-stasiun relay tidak perlu di seluruh Indonesia, cukup di kabupaten dan kota yang ada di Sumsel saja. Lewat konsep lokalitas, TV ini akan lebih mudah menjangkau dan menjalin ikatan dengan pemirsanya. Ikatan yang terbentuk nantinya, tidak sekedar formalitas, namun sudah menjadi hubungan emosional dengan pola komunikasi yang interaktif.

Hal ini dimungkinkan karena TV berbeda dengan media komunikasi massa lain, seperti media cetak dan radio. Media cetak sulit menjalin ikatan emosional, karena komunikasinya cenderung satu arah, walau daya jangkau lebih luas. Feed back dari pembaca sifatnya tertunda. Sedangkan radio, komunikasinya bisa interaktif, namun tidak mampu meningkatkan ketegangan kognitif khalayak hingga level tertinggi, karena pesannya hanya berupa suara.

TV lokal mampu menggabungkan kedua hal itu. Kekuatannya adalah teknologi audio-visual. Emosi khalayak bisa dijalin lebih kuat karena yang ditampilkan tidak hanya suara, tapi gambar. Misalnya berita penangkapan seorang pejabat korup. Di media cetak, kita hanya bisa membaca kata demi kata dan tampilan photo seseorang yang digiring ke kantor pengadilan atau polisi. Namun di TV, kita akan saksikan bagaimana raut mukanya yang tegang, keluarganya yang menangis meneteskan air mata, pakaian yang lusuh, hingga ke suasana lalu lintas saat sidang dilakukan. Sensasional dan dramatis. Itu kelebihan TV.

Mengingat banyaknya TV lokal akan beraktifitas di kota ini, otomatis pasar lokal akan jadi rebutan. Masing-masing stasiun akan berlomba-lomba mengemas acara semenarik mungkin, sedramatis mungkin, sehingga mata khalayak hanya pada satu channel saja. Jika ini sudah dicapai, otomatis kue iklan akan mengalir. Makin banyak iklan, makin sehatlah keuangan stasiun tersebut. Sumber iklan bisa dari mana saja, dari Palembang sendiri ataupun dari daerah lain, misalnya Jakarta.

Menarik minat pemirsa ke satu channel, itulah pekerjaan terberat TV lokal. Untuk itu, format acara harus benar-benar profesional dan bernilai komersial. Sasaran khalayak sudah jelas, warga Palembang dan Sumsel umumnya. Mereka inilah yang akan jadi rebutan. Sebagai pihak yang “diperebutkan”, kita tentu punya nilai tawar tersendiri. Semakin banyak pihak yang memperebutkan, makin tinggi pula posisi tawar kita. Ini adalah nilai plus yang harus dipahami oleh semua masyarakat dan menjadi strategi bisnis bagi pengelola stasiun.

Hal ini perlu ditekankan karena, semua tayangan pada hakekatnya akan memberikan dampak bagi masyarakat. Apalagi dengan konsep lokal, bisa dipastikan lalu lintas informasi akan semakin rapat dan dekat. Ruang-ruang publik menjadi makin kabur. Untuk mengetahui peristiwa di Seberang Ulu yang bakal tergusur proyek Musi III misalnya, tak perlu menunggu koran besok. Sore ini juga ia hadir di ruang tamu kita. Atau untuk tahu tentang sebuah Ketek tenggelam di Sungai Musi, tunggu saja di rumah sambil minum teh sore hari. Begitupun tentang prosesi pernikahan, seperti contoh di awal tulisan ini. Kita akan tahu bahwa hari ini ada keluarga di kelurahan anu dan RT anu sedang melangsungkan pernikahan.

Lebih menarik lagi, jika selama ini kita saksikan di TV skala nasional tayangan infotainment yang menampilkan kisah-kisah selebritis di Jakarta, maka bukan tidak mungkin, infotainment dengan selebritis-selebritis lokalpun akan kita saksikan. Akan terjadi proses penyebaran budaya dan pemerataan selebritis ke tingkat lokal. Ruang-ruang privat makin terbuka, dan anak-anak muda kita akan “terdidik” secara alami menjadi konsumen dan objek budaya massa.

Harus dipahami bahwa, sebuah tayangan adalah konstruksi realitas, walaupun itu siaran langsung. Apa yang nanti tampak di layar kaca, janganlah dipahami bahwa itulah kebenaran. Semua adalah sebuah proses yang sudah melalui tahap pengemasan dan format khusus sehingga menarik. TV lokal diharapkan mampu mengkonstruksi realitas kelokalan Palembang dan Sumsel, dalam konteks memajukan sosial dan budaya masyarakat. Mengemas lokal bukan berarti merubahnya menjadi nasional atau bahkan internasional, tapi memperkuat hingga bisa mempengaruhi konteks manapun.

Pasar lokal akan jadi rebutan dan komoditi yang punya nilai jual. Sasarannya adalah seni, tradisi, kebiasaan, gaya hidup, rumah tangga, dan semua aspek keseharian masyarakat. Itu akan dikemas sedemikian rupa. Bisa saja, jika selama ini gending sriwijaya adalah pengiring cacap-cacapan, dan karena alasan nilai jual, berubah menjadi dangdut atau disko. Kita tidak ingin seperti itu, karena itu sebagai calon pemirsa yang punya nilai tawar tinggi, mari sama-sama kita awasi. TV lokal kita sambut gembira, tapi “kelokalan” kita jangan sampai hilang.

(Tulisan ini sudah pernah diterbitkan di HU Berita Pagi, Palembang)

Pemaknaan Simbol Keagamaan

Apakah pemaknaan simbol keagamaan? Kata kuncinya adalah nilai kearifan lokal dan kekuataan sebuah modal sosial. Ini adalah kata kunci dalam memahami komunitas lokal karena setiap komunitas punya nilai dan kearifan tersendiri, terutama berkaitan dengan simbol keagamaan.