SELAMAT DATANG ...

SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN BLOG PRIBADI SAYA, MARI BERBAGI INFORMASI DAN PENGALAMAN

Selasa, 29 Desember 2015

OPINI



Burung Migran dan Komunikasi Lingkungan
Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si
(Doktor Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah)

Sekitar bulan Oktober hingga Desember setiap tahunnya, ribuan dan bahkan jutaan burung dari berbagai belahan dunia, terbang menyusuri berbagai benua, melintasi samudra, dan selama beberapa waktu mampir ke Sumsel, tepatnya di Taman Nasional (TN) Sembilang, pinggiran daerah Kabupaten Banyuasin, untuk kemudian pindah lagi ke tempat lain. Ini dikenal dengan fenomena burung migran, dan beruntunglah Sumsel karena menjadi salah satu tempat persinggahannya. Paling tidak, melalui fenomena ini, kita bisa saksikan keragaman aneka burung di dunia ini, dan paham juga bagaimana keterkaitan keseimbangan ekosistem.

            Fenomena burung berpindah ini, kemudian dijadikan ajang wisata sekaligus perlombaan oleh Forum Komunikasi Daerah Kompas Gramedia (FKDKG), dan diliput secara khusus oleh dua surat kabar terbesar di Sumsel (Sriwijaya Post dan Tribun Sumsel), 12-13 Desember lalu. Tentu saja, ini akan semakin memperkuat dan mempromosikan TN Sembilang, sekaligus juga akan semakin meningkatkan kesadaran bersama bahwa burung adalah komponen terpenting dalam ekosistem manusia, sekaligus juga mempromosikan TN Sembilang dan Sumsel secara umum. Ajang yang juga dilaksanakan tahun lalu, direncanakan akan terus berlanjut di tahun depan.
            Pada tulisan ini, saya ingin menekankan menariknya kasus burung migran  sebagai sebuah fenomena yang sebenarnya sudah sangat lazim ditemui di masyarakat. Ada semacam keterikatan antara manusia dengan fenomena kehadiran burung pada periode tertentu. Hubungan yang kalau ditilik perjalanan hidup manusia, terutama konteks masyarakat pedesaan, sudah memiliki keterikatan yang sangat dekat.
            Fenomena burung migran sebenarnya terjadi di banyak daerah. Ada yang level migrasinya yang sangat jauh, melintasi antar benua, melintasi samudra, ada juga yang levelnya adalah antar daerah terdekat saja, dari gunung ke lembah, dari kawasan sungai ke areal persawahan, dari hutan ke belukar, dan berbagai pola migrasi lainnya. Oleh karena itu, Campbell (1985) menyatakan bahwa migrasi ini adalah pergerakan populasi burung yang terjadi pada waktu tertentu setiap tahun, dari tempat berbiak menuju tempat mencari makan selama iklim di tempat berbiaknya itu tidak memungkinkan. Di tempat baru tersebut, burung-burung ini tidak akan berbiak, dan baru berbiak jika sudah kembali ke tempat asal pada musim berbiak berikutnya.
            Para ahli yang menekuni soal fenomena burung ini, menyatakan bahwa sebenarnya terdapat dua macam migrasi yaitu berdasarkan lokasi dan waktu. Dari sisi lokasi, biasanya adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain yang lebih baik (latittudinal migration). Dari sisi waktu, disebut migrasi balik (return migration), yaitu berpindah sementara dan kemudian balik lagi ke daerah asal. Bentuk kedua ini yang paling banyak ditemui, karena dominan disebabkan perubahan kondisi cuaca.
            Kelihatan juga bahwa alasan utama burung bermigrasi adalah ketersediaan bahan makanan di sebuah wilayah. Ini sebenarnya logika dasar pada semua makhluk hidup, mencari tempat baru yang memungkinkan untuk bertahan hidup. Sesulit apapun, sejauh apapun itu, demi kehidupan akan senantiasa ditempuh. Burung-burung yang bermigrasi membuktikan hal itu secara konkrit.
            Migrasi burung yang mampir ke TN Sembilang, bisa dipastikan adalah migrasi balik, karena hanya bersifat sementara, menyesuaikan kondisi cuaca. Akan tetapi, kendati hanya sebentar, saya yakin  bahwa kehadiran burung-burung ini memiliki makna tersendiri bagi komunitas atau masyarakat yang dilintasinya. Makna yang saya yakin berhubungan dengan aspek pengetahuan lingkungan masyarakat setempat, apalagi daerah TN Sembilang adalah daerah pinggiran laut berupa semenanjung. Apalagi fenomena burung ini bukan terjadi setahun dua tahun ini saja, namun sudah puluhan tahun lalu. Bisa jadi akan banyak mitos-mitos, cerita rakyat, dan mungkin kepercayaan lokal yang didasarkan atas fenomena kehadiran burung-burung tersebut.
            Sebagai perbandingan, ada sebuah fenomena menarik yang dikenal di masyarakat Semende Darat, Muara Enim, dan juga beberapa daerah uluan lainnya, seperti Lahat dan Pagar Alam, yaitu kehadiran Burung Jejuit (motacilla cinerea), salah satu jenis burung migran. Dalam bahasa setempat, Jejuit diartikan sebagai “menjungkit-jungkit”, karena ciri khas burung ini memang selalu menggerakkan ekornya seperti menjungkit. Burung ini sangat lincah, sulit untuk mendekatinya, selalu bergerak kesana kemari. Sepintas burung ini tidaklah menarik, terutama dari fisik dan suaranya. Tubuhnya kecil, lebih mirip burung Ciblek sawah, dan suaranya hanya bercuit-cuit saja. Mungkin karena alasan itu juga, sampai sekarang burung ini masih banyak ditemukan dan jarang diincar manusia.
            Tetapi, bagi warga Semende Darat, Burung Jejuit punya makna lain yang tidak sekedar burung liar semata. Hewan ini hanya muncul di awal bulan Oktober hingga awal November. Setelah itu tidak kelihatan lagi, karenanya diyakini ini adalah jenis burung migran yang datang untuk mencari makanan pada musim tertentu.
            Makna penting burung Jejuit bagi orang Semende adalah pertanda sudah masuknya musim Njawat (musim menggarap sawah). Andai Jejuit belum kelihatan, berarti musim bersawah belum dimulai. Kehadiran Jejuit sendiri memiliki tiga pola utama. Pertama, burung ini terbang dan hingga ke Kayu, terus ke Batu, lantas ke Tanah. Jika ini yang terjadi, berarti sudah mendekati musim bersawah, tetapi belum masuk masanya. Kedua, burung ini terbang dan hinggap ke Batu, langsung ke Tanah (tanpa melalui kayu), berarti musim bersawah sudah sangat dekat. Ketiga, burung ini terbang dan langsung hinggap ke tanah, tanpa melalui kayu dan batu lagi, berarti masa bersawah sudah dimulai.
            Umumnya masyarakat Semende sangat paham akan hal itu, dan sampai sekarang tetap masih jadi acuan dalam bersawah. Generasi mudapun, terutama yang bermukim di Semende, dipastikan tahu fenomena ini. Bahkan, dalam beberapa hal, Burung Jejuit sering juga disebut dengan Burung Diwe (burung Dewa).
            Apa makna penting dari hal itu? Saya mengatakannya, inilah salah satu bentuk komunikasi lingkungan masyarakat di pedesaan. Mereka menangkap fenomena alam, simbol-simbol yang dilihat, kemudian dimaknai dan dijadikan sebuah pengetahuan bersama. Gagasan etnoekologi komunikasi bisa menjelaskan hal ini, yaitu keterkaitan masyarakat dengan sekitarnya. Burung Jejuit awalnya tidak berarti apa-apa, dan mungkin tidak punya nilai bagi orang di luar Semende. Tetapi bagi komunitas Semende Darat, burung ini adalah sebuah tanda dimulainya siklus penting dalam kehidupan mereka. Hampir mirip dengan nelayan dilaut yang mampu menerjemahkan rasi bintang sebagai pertanda cuaca dan penentu lokasi.
            Jejuit pada hakekatnya adalah burung migran. Beberapa komunitas ini ditemukan juga di daerah aliran sungai berbatu, seperti Sungai Lematang. Tetapi pada bulan tertentu, mereka menghilang dan kemudian muncul lagi. Perpindahan ini jelas adalah alasan ketersediaan makanan.
            Tampak jelas bahwa komunitas masyarakat, terutama di pedesaan, mampu dan memiliki instrumen tersendiri dalam memaknai berbagai fenomena alam. Fenomena yang kemudian dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupannya. Menjadi jelas juga bahwa, manusia menyesuaikan diri dengan fenomena alam, bukan justru mensiasati atau memanipulasinya. Kehadiran burung migran bisa dijadikan sebuah pengetahuan tersendiri, bahwa fenomena alam bukan untuk dilawan, tetapi disesuaikan.
            Fenomena burung migran, semestinya tidak dilihat hanya sebatas keindahan fisik dan menakjubkannya fenomena yang terjadi. Apabila ada jutaan ekor burung migran di TN Sembilang setiap tahun, seharusnya juga diikuti dengan pengetahuan tentang apa dan bagaimana burung-burung tersebut, bagaimana pandangan masyarakat setempat (makna yang diberikan), dan apa kaitannya dengan fenomena perubahan lingkungan. Gagasan Lomba Photo Burung Migran kali ini bisa menjadi ruang pembuka untuk menampilkan fenomena-fenomena tentang burung yang ada di dunia ini. Akan lebih menarik jika fokusnya tidak semata-mata mengekpos keindahan fenomena alam, namun diikuti uraian singkat tentang hubungan burung tersebut dengan masyarakat setempat.
*) Tulisan ini sudah dipublikasikan di HU Sriwijaya Post, 30 Desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar