Burung Migran
dan Komunikasi Lingkungan
Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si
(Doktor Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah)
Sekitar bulan Oktober
hingga Desember setiap tahunnya, ribuan dan bahkan jutaan burung dari berbagai
belahan dunia, terbang menyusuri berbagai benua, melintasi samudra, dan selama
beberapa waktu mampir ke Sumsel, tepatnya di Taman Nasional (TN) Sembilang, pinggiran
daerah Kabupaten Banyuasin, untuk kemudian pindah lagi ke tempat lain. Ini
dikenal dengan fenomena burung migran, dan beruntunglah Sumsel karena menjadi
salah satu tempat persinggahannya. Paling tidak, melalui fenomena ini, kita
bisa saksikan keragaman aneka burung di dunia ini, dan paham juga bagaimana
keterkaitan keseimbangan ekosistem.
Fenomena
burung berpindah ini, kemudian dijadikan ajang wisata sekaligus perlombaan oleh
Forum Komunikasi Daerah Kompas Gramedia (FKDKG), dan diliput secara khusus oleh
dua surat kabar terbesar di Sumsel (Sriwijaya Post dan Tribun Sumsel), 12-13
Desember lalu. Tentu saja, ini akan semakin memperkuat dan mempromosikan TN
Sembilang, sekaligus juga akan semakin meningkatkan kesadaran bersama bahwa
burung adalah komponen terpenting dalam ekosistem manusia, sekaligus juga
mempromosikan TN Sembilang dan Sumsel secara umum. Ajang yang juga dilaksanakan
tahun lalu, direncanakan akan terus berlanjut di tahun depan.
Pada
tulisan ini, saya ingin menekankan menariknya kasus burung migran sebagai sebuah fenomena yang sebenarnya sudah
sangat lazim ditemui di masyarakat. Ada semacam keterikatan antara manusia
dengan fenomena kehadiran burung pada periode tertentu. Hubungan yang kalau
ditilik perjalanan hidup manusia, terutama konteks masyarakat pedesaan, sudah
memiliki keterikatan yang sangat dekat.
Fenomena
burung migran sebenarnya terjadi di banyak daerah. Ada yang level migrasinya
yang sangat jauh, melintasi antar benua, melintasi samudra, ada juga yang
levelnya adalah antar daerah terdekat saja, dari gunung ke lembah, dari kawasan
sungai ke areal persawahan, dari hutan ke belukar, dan berbagai pola migrasi
lainnya. Oleh karena itu, Campbell (1985) menyatakan bahwa migrasi ini adalah pergerakan
populasi burung yang terjadi pada waktu tertentu setiap tahun, dari tempat
berbiak menuju tempat mencari makan selama iklim di tempat berbiaknya itu tidak
memungkinkan. Di tempat baru tersebut, burung-burung ini tidak akan berbiak,
dan baru berbiak jika sudah kembali ke tempat asal pada musim berbiak
berikutnya.
Para
ahli yang menekuni soal fenomena burung ini, menyatakan bahwa sebenarnya
terdapat dua macam migrasi yaitu berdasarkan lokasi dan waktu. Dari sisi
lokasi, biasanya adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain yang lebih
baik (latittudinal migration). Dari
sisi waktu, disebut migrasi balik (return
migration), yaitu berpindah sementara dan kemudian balik lagi ke daerah
asal. Bentuk kedua ini yang paling banyak ditemui, karena dominan disebabkan
perubahan kondisi cuaca.
Kelihatan
juga bahwa alasan utama burung bermigrasi adalah ketersediaan bahan makanan di
sebuah wilayah. Ini sebenarnya logika dasar pada semua makhluk hidup, mencari
tempat baru yang memungkinkan untuk bertahan hidup. Sesulit apapun, sejauh
apapun itu, demi kehidupan akan senantiasa ditempuh. Burung-burung yang
bermigrasi membuktikan hal itu secara konkrit.
Migrasi
burung yang mampir ke TN Sembilang, bisa dipastikan adalah migrasi balik,
karena hanya bersifat sementara, menyesuaikan kondisi cuaca. Akan tetapi,
kendati hanya sebentar, saya yakin bahwa
kehadiran burung-burung ini memiliki makna tersendiri bagi komunitas atau
masyarakat yang dilintasinya. Makna yang saya yakin berhubungan dengan aspek
pengetahuan lingkungan masyarakat setempat, apalagi daerah TN Sembilang adalah
daerah pinggiran laut berupa semenanjung. Apalagi fenomena burung ini bukan
terjadi setahun dua tahun ini saja, namun sudah puluhan tahun lalu. Bisa jadi
akan banyak mitos-mitos, cerita rakyat, dan mungkin kepercayaan lokal yang didasarkan
atas fenomena kehadiran burung-burung tersebut.
Sebagai
perbandingan, ada sebuah fenomena menarik yang dikenal di masyarakat Semende
Darat, Muara Enim, dan juga beberapa daerah uluan lainnya, seperti Lahat dan
Pagar Alam, yaitu kehadiran Burung Jejuit (motacilla
cinerea), salah satu jenis burung migran. Dalam bahasa setempat, Jejuit
diartikan sebagai “menjungkit-jungkit”, karena ciri khas burung ini memang
selalu menggerakkan ekornya seperti menjungkit. Burung ini sangat lincah, sulit
untuk mendekatinya, selalu bergerak kesana kemari. Sepintas burung ini tidaklah
menarik, terutama dari fisik dan suaranya. Tubuhnya kecil, lebih mirip burung
Ciblek sawah, dan suaranya hanya bercuit-cuit saja. Mungkin karena alasan itu
juga, sampai sekarang burung ini masih banyak ditemukan dan jarang diincar
manusia.
Tetapi,
bagi warga Semende Darat, Burung Jejuit punya makna lain yang tidak sekedar
burung liar semata. Hewan ini hanya muncul di awal bulan Oktober hingga awal
November. Setelah itu tidak kelihatan lagi, karenanya diyakini ini adalah jenis
burung migran yang datang untuk mencari makanan pada musim tertentu.
Makna
penting burung Jejuit bagi orang Semende adalah pertanda sudah masuknya musim Njawat (musim menggarap sawah). Andai
Jejuit belum kelihatan, berarti musim bersawah belum dimulai. Kehadiran Jejuit
sendiri memiliki tiga pola utama. Pertama,
burung ini terbang dan hingga ke Kayu, terus ke Batu, lantas ke Tanah. Jika
ini yang terjadi, berarti sudah mendekati musim bersawah, tetapi belum masuk
masanya. Kedua, burung ini terbang
dan hinggap ke Batu, langsung ke Tanah (tanpa melalui kayu), berarti musim
bersawah sudah sangat dekat. Ketiga, burung
ini terbang dan langsung hinggap ke tanah, tanpa melalui kayu dan batu lagi,
berarti masa bersawah sudah dimulai.
Umumnya
masyarakat Semende sangat paham akan hal itu, dan sampai sekarang tetap masih
jadi acuan dalam bersawah. Generasi mudapun, terutama yang bermukim di Semende,
dipastikan tahu fenomena ini. Bahkan, dalam beberapa hal, Burung Jejuit sering
juga disebut dengan Burung Diwe (burung
Dewa).
Apa
makna penting dari hal itu? Saya mengatakannya, inilah salah satu bentuk komunikasi
lingkungan masyarakat di pedesaan. Mereka menangkap fenomena alam,
simbol-simbol yang dilihat, kemudian dimaknai dan dijadikan sebuah pengetahuan
bersama. Gagasan etnoekologi komunikasi bisa menjelaskan hal ini, yaitu
keterkaitan masyarakat dengan sekitarnya. Burung Jejuit awalnya tidak berarti
apa-apa, dan mungkin tidak punya nilai bagi orang di luar Semende. Tetapi bagi
komunitas Semende Darat, burung ini adalah sebuah tanda dimulainya siklus
penting dalam kehidupan mereka. Hampir mirip dengan nelayan dilaut yang mampu
menerjemahkan rasi bintang sebagai pertanda cuaca dan penentu lokasi.
Jejuit
pada hakekatnya adalah burung migran. Beberapa komunitas ini ditemukan juga di
daerah aliran sungai berbatu, seperti Sungai Lematang. Tetapi pada bulan tertentu,
mereka menghilang dan kemudian muncul lagi. Perpindahan ini jelas adalah alasan
ketersediaan makanan.
Tampak
jelas bahwa komunitas masyarakat, terutama di pedesaan, mampu dan memiliki
instrumen tersendiri dalam memaknai berbagai fenomena alam. Fenomena yang
kemudian dipahami dan diaplikasikan dalam kehidupannya. Menjadi jelas juga
bahwa, manusia menyesuaikan diri dengan fenomena alam, bukan justru mensiasati
atau memanipulasinya. Kehadiran burung migran bisa dijadikan sebuah pengetahuan
tersendiri, bahwa fenomena alam bukan untuk dilawan, tetapi disesuaikan.
Fenomena
burung migran, semestinya tidak dilihat hanya sebatas keindahan fisik dan
menakjubkannya fenomena yang terjadi. Apabila ada jutaan ekor burung migran di
TN Sembilang setiap tahun, seharusnya juga diikuti dengan pengetahuan tentang
apa dan bagaimana burung-burung tersebut, bagaimana pandangan masyarakat
setempat (makna yang diberikan), dan apa kaitannya dengan fenomena perubahan
lingkungan. Gagasan Lomba Photo Burung Migran kali ini bisa menjadi ruang
pembuka untuk menampilkan fenomena-fenomena tentang burung yang ada di dunia
ini. Akan lebih menarik jika fokusnya tidak semata-mata mengekpos keindahan
fenomena alam, namun diikuti uraian singkat tentang hubungan burung tersebut
dengan masyarakat setempat.
*)
Tulisan ini sudah dipublikasikan di HU Sriwijaya Post, 30 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar