BELAJAR
DARI BEKAS NEGARA PENJAJAH
Oleh : Dr. Yenrizal,M.Si.
(Dosen
UIN Raden Fatah, peserta Utrecht Summer School, Netherland, 2015)
Tahun ini saya memperoleh sebuah
kesempatan untuk mengunjungi Belanda, negara yang pernah menjajah Indonesia
selama ratusan tahun. Selama ini saya kerap mendengar tudingan negatif bahwa berbagai
persoalan di Indonesia saat ini, banyak disumbangkan oleh gaya Belanda yang
masih dipakai di Indonesia. Namun agaknya banyak juga sisi positif yang saat
ini justru tidak ditemukan di negara kita. Saya coba berbagi informasi yang
mungkin bisa menjadi inspirasi bagi kita.
Saat mendarat di Bandara Schipol,
Amsterdam, siang sekitar pukul 13.30 waktu Belanda, pandangan pertama merasa
seakan tak ada bedanya dengan bandara lain di Indonesia. Mungkin karena standar
bandara sama di seluruh dunia, jadi tak ada yang terlalu jauh berbeda. Namun
saat keluar dari terminal kedatangan, saya langsung disuguhkan suasana yang
lain. Pertama kali saya dihadapkan dengan cuaca yang sedikit panas (karena
memang saya datang di musim panas/summer).
Tapi panas yang dirasakan tidaklah menyengat atau menimbulkan gerah berlebihan,
sebaliknya justru terasa sejuk dan menyegarkan. Udara yang bersih dan minim
polusi, itulah kesimpulan pertama yang bisa saya ambil.
Memandang bandara Schipol, langsung
berhadapan dengan barisan gedung tinggi megah, yang ternyata kebanyakan adalah
deretan hotel berbintang. Suatu gambaran yang tidak saya temukan jika di
Indonesia. Saya tak melihat adanya lalu lalang kendaraan yang menyesakkan jika
di Indonesia, yang kelihatan hanya beberapa bus berukuran besar, menaikkan dan
menurunkan penumpang. Menariknya bagi saya, semua bus tersebut seolah-olah
seperti baru, mulus, bersih dan terkesan sangat rapi. Di samping bus berdiri
laki-laki berpakaian rapi, berwajah bersih, penuh senyum (saya jadi teringat
model majalah pria yang kerap muncul di majalah). Keramahan, kerapihan, kebersihan,
baik fasilitas maupun orang yang memakainya, adalah kesimpulan kedua yang bisa
saya ambil.
Saat menaiki bus yang akan membawa
ke tempat menginap, saya disambut oleh seorang lelaki tua (setidaknya saya
lihat dari raut wajahnya), berdasi, berbaju putih, rambut yang rapi dan
lagi-lagi, penuh senyum. Dialah sopir kami. Mobilpun menelusuri jalanan
beraspal yang harus saya akui sangat mulus dan rapi. Tujuan kami adalah
Utrecht, sebuah kota tua dengan perguruan tingginya sebagai ikon yang sudah
mendunia. Di sepanjang perjalanan tidak ada goncangan ataupun goyangan berarti.
Jalan seakan tak ada lobang sedikitpun. Beberapa mobil terlihat melintas dengan
kecepatan yang saya pikir hampir sama semuanya, standar. Tak ada kemacetan, dan
bahkan saya tidak melihat adanya pintu tol di jalan ini. Beberapa lampu merah
di lewati, bus berhenti, jalan lagi dan seterusnya. Tak saya lihat ada
sedikitpun pelanggaran lalu lintas ataupun saling serobot. Kedisiplinan dan
ketertiban, kesimpulan ketiga yang bisa saya petik.
Di kiri-kanan jalan yang dilewati,
mata disajikan dengan suguhan pemandangan lapangan hijau nan luas. Sekilas
seperti hamparan persawahan jika di Indonesia. Ternyata bukan, itu adalah
hamparan padang rumput yang berguna untuk menggembalakan sapi dan domba. Beberapa
kumpulan sapi dan domba tampak bergerombol. Sementara di sisi lain, agak ke
ujung, rumah-rumah khas Belanda tampak di sela-sela pepohonan. Antara
masing-masing petak hamparan ini, dibatasi oleh kanal-kanal atau semacam kali
kecil, yang rapi dan bersih. Tata ruang yang rapi dan terancang dengan baik,
kesimpulan lain yang bisa saya peroleh.
Memasuki kampus Hogeschool (semacam
kampus S1) Universiteit Utrecht, langsung dihadapkan dengan kawasan
gedung-gedung tinggi bernuansa modern. Kendati banyak gedung tinggi dan megah,
namun tidaklah padat dan sesak. Jarak antara masing-masing gedung cukup luas,
dihubungkan oleh jalan raya yang dibagi pula menjadi tiga kelompok, yaitu jalan
untuk pejalan kaki, sepeda dan sepeda motor, dan bus. Pepohonan cukup banyak ditemukan,
terutama di areal parkir. Semua jalan memiliki papan petunjuk yang (ini yang
disayangkan) semuanya memakai bahasa Belanda. Agak kesulitan untuk memahami
ini, karena tentu saja saya tidak paham bahasa wong Londo ini. Tetapi setidaknya saya bisa berkesimpulan bahwa
tata ruang yang baik, perencanaan yang mantap, adalah kunci keserasian yang
terlihat.
Jalanan di kampus Utrecht ini sangat
sepi, mungkin karena memang saya datang bertepatan dengan liburan musim panas,
hari Minggu pula. Hanya beberapa bule bersepeda yang melintas dan satu dua
mobil sejenis sedan. Tetapi kendati sepi, bukan berarti aturan lalu lintas
tidak berlaku. Di setiap persimpangan, saya lihat pengendara sepeda berhenti
atau bus berhenti hanya untuk menunggu lampu petunjuk menjadi hijau. Padahal
sangat jelas tak ada lawan atau kendaraan lain dari arah berlawanan, dan tak
ada polisi sama sekali, namun mereka dengan tertib menunggu. Menarik sekali,
dan sesuatu yang sangat jarang saya temukan di Indonesia, khususnya di
Palembang. Lagi-lagi, soal ketertiban, kedisiplinan, kepatuhan pada aturan,
harus saya acungkan jempol untuk penduduk Belanda ini.
Areal kampus Universiteit Utrecht
cukup luas, hampir sebesar kampus Unsri di Sumsel. Setiap bagian dibagi
peruntukannya untuk hal-hal tertentu. Ada kawasan yang memang khusus untuk
asrama mahasiswa, terdiri dari gedung-gedung tinggi seperti apartemen dengan
10-15 lantai. Setiap gedung memiliki ratusan kamar, ada yang terdiri dari 100
kamar, 150, bahkan 200 kamar. Satu kamar bisa menampung 2-3 orang mahasiswa,
atau 400-500 orang per gedung. Sementara luas areal yang terpakai oleh
pembangunan gedung lengkap dengan halamannya hanya sekitar 50 x 50 m2, bahkan
ada yang kurang. Sangat efisien dan terencana dengan baik, kesimpulan yang
kemudian bisa saya ambil.
Lingkungan kampus dan jalan-jalan
lain yang saya temukan, semua terlihat bersih dan rapi. Hampir tak ada sampah
berserakan yang mengotori jalan, kalaupun ada paling puntung rokok yang
berceceran. Tak terlihat sampah yang menyumbat got atau sampah di
gorong-gorong. Kotak sampah memang ada dimana-mana, sangat mudah ditemukan, dan
setiap orang saya amati selalu tertib untuk membuang sampahnya ke kotak
tersebut. Saya tak melihat adanya petugas kebersihan atau cleaning service yang lalu lalang, tapi jalan dan lingkungan tetap
bersih dan rapi.
Banyak hal lain yang bisa dipelajari
dari negara yang pernah menjajah Indonesia ini. Sebagai negara maju, soal
keteraturan dan ketertiban memang harus diakui ada pada mereka. Melalui aspek
ini, maka rasa aman, nyaman langsung menyelinap. Di sepanjang perjalanan dari
Bandara menuju penginapan di Utrecht, saya tidak menemukan seorangpun polisi,
baik polisi lalu lintas atau polisi lain yang biasanya di Indonesia kerap
ditemukan. Semua berjalan teratur, tertib, dan tidak saling menganggu.
Menjadi
pertanyaan bagi saya, kenapa Indonesia bisa menghilangkan aspek ini di hampir
semua masyarakat. Bukankah Indonesia dulunya (dalam tatanan masyarakat
tradisional kita) juga sangat mengenal aspek ini? Bukankah kemudian Belanda pula
yang menjajah di Indonesia ini? Pertanyaan-pertanyaan yang sangat saya harapkan
akan memperoleh jawaban.
Pengamatan saya ini mungkin masih
sangat dangkal, karena hanya sebatas yang dirasakan setelah baru dua hari di
Belanda. Tetapi kesan pertama sudah membawa saya pada sesuatu yang berbeda.
Agaknya, Indonesia khususnya di Sumatera Selatan perlu juga belajar tentang hal
ini. Ketertiban di jalan raya, kedisiplinan pada diri sendiri, kepatuhan pada
aturan, seharusnya bisa kita munculkan. Tidak usahlah berkoar-koar tentang
pemerintahan yang korup, tentang pemerintah yang tidak tertib, dan sebagainya.
Cukup disiplinkan diri sendiri, patuhi aturan yang paling sederhana, dan hargai
keperluan orang lain, dan itu ada pada diri kita, masyarakat Indonesia, khususnya
Sumatera Selatan.
Tulisan ini sudah dipublikasikan di HU Berita Pagi,
tanggal 15 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar