SELAMAT DATANG ...

SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN BLOG PRIBADI SAYA, MARI BERBAGI INFORMASI DAN PENGALAMAN

Kamis, 20 Agustus 2015

OPINI



BELAJAR DARI BEKAS NEGARA PENJAJAH
Oleh : Dr. Yenrizal,M.Si.
(Dosen UIN Raden Fatah, peserta Utrecht Summer School, Netherland, 2015)

            Tahun ini saya memperoleh sebuah kesempatan untuk mengunjungi Belanda, negara yang pernah menjajah Indonesia selama ratusan tahun. Selama ini saya kerap mendengar tudingan negatif bahwa berbagai persoalan di Indonesia saat ini, banyak disumbangkan oleh gaya Belanda yang masih dipakai di Indonesia. Namun agaknya banyak juga sisi positif yang saat ini justru tidak ditemukan di negara kita. Saya coba berbagi informasi yang mungkin bisa menjadi inspirasi bagi kita.

            Saat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, siang sekitar pukul 13.30 waktu Belanda, pandangan pertama merasa seakan tak ada bedanya dengan bandara lain di Indonesia. Mungkin karena standar bandara sama di seluruh dunia, jadi tak ada yang terlalu jauh berbeda. Namun saat keluar dari terminal kedatangan, saya langsung disuguhkan suasana yang lain. Pertama kali saya dihadapkan dengan cuaca yang sedikit panas (karena memang saya datang di musim panas/summer). Tapi panas yang dirasakan tidaklah menyengat atau menimbulkan gerah berlebihan, sebaliknya justru terasa sejuk dan menyegarkan. Udara yang bersih dan minim polusi, itulah kesimpulan pertama yang bisa saya ambil.
            Memandang bandara Schipol, langsung berhadapan dengan barisan gedung tinggi megah, yang ternyata kebanyakan adalah deretan hotel berbintang. Suatu gambaran yang tidak saya temukan jika di Indonesia. Saya tak melihat adanya lalu lalang kendaraan yang menyesakkan jika di Indonesia, yang kelihatan hanya beberapa bus berukuran besar, menaikkan dan menurunkan penumpang. Menariknya bagi saya, semua bus tersebut seolah-olah seperti baru, mulus, bersih dan terkesan sangat rapi. Di samping bus berdiri laki-laki berpakaian rapi, berwajah bersih, penuh senyum (saya jadi teringat model majalah pria yang kerap muncul di majalah). Keramahan, kerapihan, kebersihan, baik fasilitas maupun orang yang memakainya, adalah kesimpulan kedua yang bisa saya ambil.
            Saat menaiki bus yang akan membawa ke tempat menginap, saya disambut oleh seorang lelaki tua (setidaknya saya lihat dari raut wajahnya), berdasi, berbaju putih, rambut yang rapi dan lagi-lagi, penuh senyum. Dialah sopir kami. Mobilpun menelusuri jalanan beraspal yang harus saya akui sangat mulus dan rapi. Tujuan kami adalah Utrecht, sebuah kota tua dengan perguruan tingginya sebagai ikon yang sudah mendunia. Di sepanjang perjalanan tidak ada goncangan ataupun goyangan berarti. Jalan seakan tak ada lobang sedikitpun. Beberapa mobil terlihat melintas dengan kecepatan yang saya pikir hampir sama semuanya, standar. Tak ada kemacetan, dan bahkan saya tidak melihat adanya pintu tol di jalan ini. Beberapa lampu merah di lewati, bus berhenti, jalan lagi dan seterusnya. Tak saya lihat ada sedikitpun pelanggaran lalu lintas ataupun saling serobot. Kedisiplinan dan ketertiban, kesimpulan ketiga yang bisa saya petik.
            Di kiri-kanan jalan yang dilewati, mata disajikan dengan suguhan pemandangan lapangan hijau nan luas. Sekilas seperti hamparan persawahan jika di Indonesia. Ternyata bukan, itu adalah hamparan padang rumput yang berguna untuk menggembalakan sapi dan domba. Beberapa kumpulan sapi dan domba tampak bergerombol. Sementara di sisi lain, agak ke ujung, rumah-rumah khas Belanda tampak di sela-sela pepohonan. Antara masing-masing petak hamparan ini, dibatasi oleh kanal-kanal atau semacam kali kecil, yang rapi dan bersih. Tata ruang yang rapi dan terancang dengan baik, kesimpulan lain yang bisa saya peroleh.
            Memasuki kampus Hogeschool (semacam kampus S1) Universiteit Utrecht, langsung dihadapkan dengan kawasan gedung-gedung tinggi bernuansa modern. Kendati banyak gedung tinggi dan megah, namun tidaklah padat dan sesak. Jarak antara masing-masing gedung cukup luas, dihubungkan oleh jalan raya yang dibagi pula menjadi tiga kelompok, yaitu jalan untuk pejalan kaki, sepeda dan sepeda motor, dan bus. Pepohonan cukup banyak ditemukan, terutama di areal parkir. Semua jalan memiliki papan petunjuk yang (ini yang disayangkan) semuanya memakai bahasa Belanda. Agak kesulitan untuk memahami ini, karena tentu saja saya tidak paham bahasa wong Londo ini. Tetapi setidaknya saya bisa berkesimpulan bahwa tata ruang yang baik, perencanaan yang mantap, adalah kunci keserasian yang terlihat.
            Jalanan di kampus Utrecht ini sangat sepi, mungkin karena memang saya datang bertepatan dengan liburan musim panas, hari Minggu pula. Hanya beberapa bule bersepeda yang melintas dan satu dua mobil sejenis sedan. Tetapi kendati sepi, bukan berarti aturan lalu lintas tidak berlaku. Di setiap persimpangan, saya lihat pengendara sepeda berhenti atau bus berhenti hanya untuk menunggu lampu petunjuk menjadi hijau. Padahal sangat jelas tak ada lawan atau kendaraan lain dari arah berlawanan, dan tak ada polisi sama sekali, namun mereka dengan tertib menunggu. Menarik sekali, dan sesuatu yang sangat jarang saya temukan di Indonesia, khususnya di Palembang. Lagi-lagi, soal ketertiban, kedisiplinan, kepatuhan pada aturan, harus saya acungkan jempol untuk penduduk Belanda ini.
            Areal kampus Universiteit Utrecht cukup luas, hampir sebesar kampus Unsri di Sumsel. Setiap bagian dibagi peruntukannya untuk hal-hal tertentu. Ada kawasan yang memang khusus untuk asrama mahasiswa, terdiri dari gedung-gedung tinggi seperti apartemen dengan 10-15 lantai. Setiap gedung memiliki ratusan kamar, ada yang terdiri dari 100 kamar, 150, bahkan 200 kamar. Satu kamar bisa menampung 2-3 orang mahasiswa, atau 400-500 orang per gedung. Sementara luas areal yang terpakai oleh pembangunan gedung lengkap dengan halamannya hanya sekitar 50 x 50 m2, bahkan ada yang kurang. Sangat efisien dan terencana dengan baik, kesimpulan yang kemudian bisa saya ambil.
            Lingkungan kampus dan jalan-jalan lain yang saya temukan, semua terlihat bersih dan rapi. Hampir tak ada sampah berserakan yang mengotori jalan, kalaupun ada paling puntung rokok yang berceceran. Tak terlihat sampah yang menyumbat got atau sampah di gorong-gorong. Kotak sampah memang ada dimana-mana, sangat mudah ditemukan, dan setiap orang saya amati selalu tertib untuk membuang sampahnya ke kotak tersebut. Saya tak melihat adanya petugas kebersihan atau cleaning service yang lalu lalang, tapi jalan dan lingkungan tetap bersih dan rapi.
            Banyak hal lain yang bisa dipelajari dari negara yang pernah menjajah Indonesia ini. Sebagai negara maju, soal keteraturan dan ketertiban memang harus diakui ada pada mereka. Melalui aspek ini, maka rasa aman, nyaman langsung menyelinap. Di sepanjang perjalanan dari Bandara menuju penginapan di Utrecht, saya tidak menemukan seorangpun polisi, baik polisi lalu lintas atau polisi lain yang biasanya di Indonesia kerap ditemukan. Semua berjalan teratur, tertib, dan tidak saling menganggu.
Menjadi pertanyaan bagi saya, kenapa Indonesia bisa menghilangkan aspek ini di hampir semua masyarakat. Bukankah Indonesia dulunya (dalam tatanan masyarakat tradisional kita) juga sangat mengenal aspek ini? Bukankah kemudian Belanda pula yang menjajah di Indonesia ini? Pertanyaan-pertanyaan yang sangat saya harapkan akan memperoleh jawaban.
            Pengamatan saya ini mungkin masih sangat dangkal, karena hanya sebatas yang dirasakan setelah baru dua hari di Belanda. Tetapi kesan pertama sudah membawa saya pada sesuatu yang berbeda. Agaknya, Indonesia khususnya di Sumatera Selatan perlu juga belajar tentang hal ini. Ketertiban di jalan raya, kedisiplinan pada diri sendiri, kepatuhan pada aturan, seharusnya bisa kita munculkan. Tidak usahlah berkoar-koar tentang pemerintahan yang korup, tentang pemerintah yang tidak tertib, dan sebagainya. Cukup disiplinkan diri sendiri, patuhi aturan yang paling sederhana, dan hargai keperluan orang lain, dan itu ada pada diri kita, masyarakat Indonesia, khususnya Sumatera Selatan.
Tulisan ini sudah dipublikasikan di HU Berita Pagi, tanggal 15 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar