Jabat Tangan
Prabowo
Oleh : Yenrizal
(Dosen Komunikasi IAIN Raden Fatah dan Kandidat
Doktor Ilmu Komunikasi)
Debat
kandidat capres tahap kedua sudah dilakukan. Banyak hal menarik disana, banyak
pula hal-hal yang sebenarnya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan
pilihan. Situasi debat sudah mulai terasa hidup, walau sedikit terganggu dengan
penampilan moderator yang terkesan kaku. Di tengah-tengah debat, kita
disuguhkan tampilan yang belum pernah terjadi dalam debat-debat seperti ini sebelumnya,
Prabowo mengamini Jokowi dan kemudian menyalaminya sambil berkata, “saya setuju
dengan gagasan anda.”
Apa
yang dilakukan Prabowo memang di luar kebiasaan yang pernah terjadi. Alih-alih
mendapatkan suasana tegang dan panas dalam sebuah debat, publik disuguhkan
situasi yang cair. Prabowopun sempat bercanda, “nggak apa-apa pak Jokowi, kita
yang capek juga nih dengan begini-begini.”
Inilah
debat antar kandidat capres di negara ini. Saya melihatnya dari aspek ilmu
komunikasi, bahwa ajang debat adalah ajang komunikasi politik dalam rangka
meraih dukungan publik. Dalam konteks masyarakat rasional dan demokrasi, ajang
debatlah yang menjadi salah satu tolok ukur kekuatan dan kelebihan seorang
calon pemimpin. Pada debat, kita bisa melihat dan menilai banyak hal, mulai
dari gagasan, program kerja, penampilan, sikap dan pribadi seorang calon
pemimpin. Debat di hadapan publik, bukan sekedar penyampaian visi misi, tapi
disitu juga ada penilaian atas personal si calon.
Pilpres
sendiri adalah ajang memilih pemimpin tertinggi pemerintahan di negara ini.
Tugas presiden bukan hanya mengurusi soal tetek bengek urusan dalam negeri,
tapi juga kemampuan berdiplomasi dan menampilkan sosok yang disegani oleh
negara-negara lain. Ia tidak hanya mengurusi satu kabupaten/kota atau hanya
satu provinsi. Presiden terpilih nanti akan mengurusi Indonesia dari Sabang
sampai Merauke secara utuh. Presiden nanti akan berhubungan dengan puluhan
gubernur dan ratusan Bupati/Walikota. Problem masing-masing daerah akan sangat
beragam, karena itulah dibutuhkan pemimpin yang mampu mengayomi, berkoordinasi,
dan berkomunikasi yang baik.
Dalam
beberapa literatur sering dimunculkan harapan publik kepada pemimpin. Harapan
ini mengacu ada pengalaman sejarah Indonesia sendiri, seperti sosok para founding father negara ini. Indonesia
membutuhkan sosok negarawan, bukan sekedar sosok seorang birokrat. Seorang
negarawan adalah seorang yang memiliki jiwa-jiwa kepemimpinan seperti jujur,
berintegritas, punya rasa kepedulian, tegas, merakyat, mampu berdiri di atas
semua golongan, dan memiliki sikap ksatria sejati. Indonesia merindukan sosok
seperti itu.
Prabowo
Subianto, dalam debat capres tahap kedua lalu, saya pikir mampu mengambil salah
satu wilayah itu. Jabat tangan dan pengakuan seorang peserta debat kepada
lawannya, bukanlah hal yang sederhana. Momen itu ditonton dan disaksikan oleh
jutaan mata, jutaan rakyat Indonesia, dimana suara rakyat yang menonton itulah
yang menjadi kunci keterpilihan dia nantinya. Saya tidak yakin Prabowo
melakukan itu tanpa perhitungan. Mungkin memang itu bukan bagian dari rancangan
debat yang telah ia susun, sifatnya mungkin spontan, muncul karena insting
saja. Tetapi saya percaya, Prabowo sadar melakukan itu, sadar bahwa ia sedang
berada dalam sorotan rakyat Indonesia.
Pertanyaanya,
apakah Prabowo blunder dengan
melakukan jabat tangan tersebut? Apakah itu adalah gol bunuh diri? Banyak
pandangan bisa diberikan tentang ini. Bagi pendukung Jokowi, ini bisa dimaknai
sebagai bentuk pengakuan bahwa Jokowi lebih baik dan Prabowo sudah
melakukannya. Bisa pula dimaknai bahwa penjelasan dari Jokowi sudah
komprehensif. Kata akhirnya, Jokowi lebih baik dari Prabowo. Syah-syah saja,
karena dalam konteks komunikasi, makna sebuah pesan (terutama pesan non verbal)
ada pada pemirsa. Publiklah yang memaknai semua itu.
Namun,
saya (yang sampai saat ini belum mendukung salah satu pihak), secara keilmuan
komunikasi, ini adalah sebuah pesan kuat yang mengandung ragam makna. Ini
adalah simbolik, yang maknanya ada pada individu-individu yang menyaksikan.
Selama ini ada asumsi
yang sering dikembangkan, bahwa Prabowo dengan latar belakang militernya, punya
kecenderungan untuk bersikap otoriter. Otoriter bisa dimaknai sebagai sikap
yang hanya menurutkan keinginan sendiri, tidak mau mendengar pandangan orang
lain. Jabat tangan dan pengakuan dari Prabowo bahwa ide Jokowi bagus, saya
pikir bisa mematahkan asumsi itu. Mungkin benar bahwa ketika masih militer
aktif, Prabowo punya sikap memerintah dan cenderung otoriter terhadap anak
buahnya. Nuansa militer memang membutuhkan itu. Tapi, ketika ia sudah menjadi
sipil dan mencalonkan diri jadi capres, Prabowo menyadarinya.
Realitas lain yang bisa
dipahami adalah salah satu bentuk kenegarawanan. Bahwa indikator sikap
negarawan bukan hanya itu, betul. Tapi setidaknya sikap yang menunjukkan
menghargai pandangan lawan dan secara ksatria mengakui bahwa ia setuju dengan
gagasan lawan, itu indikasi bahwa menjadi pemimpin harus mengadopsi semua
pandangan, bahkan dari lawan politik sekalipun. Terus terang kita merindukan
pemimpin yang memiliki sikap seperti itu. Saya belum pernah menemukan pemimpin
yang secara tegas mengakui bahwa apa yang disampaikan lawan politik itu bagus,
dan akan mendukungnya. Sampai disini, saya harus akui bahwa Prabowo mampu
menunjukkan ke publik bahwa ia bukan orang yang selalu menganggap dirinya
benar. Lawanpun, pada posisi tertentu harus diakui keunggulannya.
Debat
adalah pertarungan politik, tidak hanya pertarungan gagasan, namun lebih kuat
pada image publik. Siapa yang bisa
memenangkannya, publiklah yang bisa menilai. Harus dilihat pula bahwa kita
berbicara debat dalam konteks sistem sosial budaya masyarakat Indonesia. Ada
aspek budaya yang harus diperhatikan, yang nantinya akan menunjukkan kedewasaan
seseorang. Saya memimpikan, kedepannya, dalam debat-debat berikutnya,
sikap-sikap dewasa, sikap-sikap kenegarawanan akan dimunculkan oleh para capres
dan cawapres yang bertarung. Mudah-mudahan juga Jokowi sebagai orang yang
diharapkan juga menunjukkan sikap negarawannya, akan mampu mengimbangi. Paling
tidak, publik akan disuguhkan episode-episode penuh kedamaian, menatap calon
pemimpin yang punya rasa saling menghargai, punya kejujuran dalam mengakui
gagasan lawan. Jika ini terwujud, ketegangan dan rasa panas akibat tensi
politik tinggi ini, akan mampu teredam di tingkat akar rumput. Para pemimpin
harus memberi contoh, entah itu Prabowo atau Jokowi. Kita tunggu episode
selanjutnya.
(Tulisan
ini sudah dipublikasikan di HU Berita Pagi, Selasa 17 Juni 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar