Mencari
Polisi di Eropa
Oleh : Dr. Yenrizal, M.Si.
(Dosen UIN Raden Fatah dan
Peserta Utrecht Summer School 2015)
Indikator kebahagiaan dan kenyamanan
sebuah tempat, biasanya adalah soal keamanan. Semakin aman negara tersebut,
maka semakin nyaman pula tinggal di sana. Negara yang aman dan nyaman, akan
berkorelasi pula dengan tingkat ketertiban dan kedisplinan warga negaranya.
Bisa dipastikan pula bahwa negara yang tingkat keamanan dan kenyamannya tinggi,
maka aparat keamanan juga tidak terlalu diperlukan. Mereka tetap ada, namun
jarang terlihat di depan publik. Artinya ada korelasi antara kemunculan aparat
keamanan dengan tingkat kenyamanan sebuah daerah. Hipotesis ini agaknya bisa
dibuktikan antara realitas di Eropa, khususnya di Belanda, Belgia, Jerman, dan
Prancis.
Ketika suatu kali saya datang ke
Belanda, mendarat di Bandara Schipool Amsterdam, langsung dihadirkan dengan
gambaran kota metropolitan, kota besar dengan segala kemajuan. Jejeran gedung
tinggi, hotel berbintang, seliweran kendaraan mewah (untuk ukuran Indonesia),
lalu lalang sepeda, dan orang yang hilir mudik, langsung terlihat. Kendati
ramai, namun semua teratur, semua tertib, semua beraktifitas sesuai ketentuan
yang ada. Tetapi satu yang sulit ditemukan yaitu, polisi.
Selanjutnya, menelusuri jalan-jalan
di kota Utrecht, sebuah provinsi di Belanda, sama seperti menelusuri jalanan
kota Den Hagg, Amsterdam, Brussel (Belgia), Dusseldorf (Jerman), ataupun Paris
(Prancis). Jalanan yang mulus, hampir tak ada lobang, seakan-akan semua adalah
jalan tol seperti di Indonesia. Di setiap persimpangan selalu ada traffic light atau lampu merah, yang
hidup dan mati dalam beberapa detik. Semua pengemudi, baik bus, mobil pribadi,
ataupun sepeda, trem dalam kota, bahkan pejalan kaki, berhenti dan berjalan sesuai
dengan petunjuk lampu. Tak ada yang menerobos, kecuali beberapa pejalan kaki
yang sepertinya sangat terburu-buru. Tapi, tak ada polisi ataupun pos keamanan
di setiap persimpangan tersebut.
Saat memasuki kampus Universitas
Utrecht, sebuah perguruan tinggi tertua di Belanda, langsung dihadapkan dengan
pemandangan gedung-gedung modern dan berbagai fasilitas terbaik. Universitas
Utrecht terbagi dua kampus, satunya di Utrecht Centrum (kampus tertua) dan
satunya lagi di De Uithof (khusus mahasiswa S1 dan peserta Short Course ataupun
Summer School). Masing-masing gedung dibelah oleh jalan raya yang begitu luas
dengan empat pemakaian (area pejalan kaki dan teras gedung, jalur sepeda, jalur
orang-orang cacat, dan jalur bus/mobil). Di beberapa area jalan terdapat halte
kecil yang menjadi tempat pemberhentian bus untuk menaikkan dan menurunkan
penumpang. Setiap bus yang datang akan berhenti di halte, tak ada yang melewati
dan tak ada yang berhenti sembarangan.
Di pinggiran gedung, atau di pinggir
jalan tampak ratusan sepeda terparkir, hanya satu atau dua saja yang diselingi
oleh sepeda motor. Setiap sepeda ditambatkan ke tiang besi khusus dan dipasang
rantai pengaman. Sepertinya ini menandakan bahwa sepeda menjadi salah satu
incaran dan kemungkinan sering juga terjadi kehilangan alias ada maling. Tetapi
uniknya, tak ada polisi ataupun satpam yang lalu lalang atau mengawasi. Semuanya
dibekali pengamanan sendiri-sendiri oleh pemiliknya.
Pusat keramaian di kota Utrecht
adalah daerah Centrum. Disinilah terdapatnya objek wisata semacam kanal-kanal
yang dibuat sedemikian rupa. Warga yang ingin bersantai atau berwisata bisa
menyewa perahu yang selalu siap setiap saat. Di pinggiran kanal berjejer pula
kedai-kedai minum, semacam kafe, tempat warga duduk-duduk santai sambil
menikmati minuman yang ada. Di sisi lain kanal, berjejer pertokoan dengan
segala macam barang dagangan. Tak pelak, daerah ini adalah daerah yang ramai
dan penuh dengan berbagai karakteristik manusia. Ada yang berasal dari Belanda
sendiri, daerah Eropa lainnya, Afrika, Amerika, dan tentu saja dari Asia.
Pada daerah Centrum juga terdapat
terminal bus dan stasiun kereta api, yang menghubungkan penduduk ke berbagai
kota dan daerah lain di Belanda dan juga Eropa. Kita bisa langsung naik bus
atau kereta api ke Brussel (Belgia), Paris, Swiss, Spanyol, dan daerah Eropa
lainnya. Pertanyaan kemudian adalah, adakah polisi di sini? Nah, sejauh
perjalanan yang dilakukan baru disinilah polisi ditemukan, yaitu di sekitar
stasiun kereta api. Tetapi jumlahnya tidaklah banyak, paling sekitar 5 orang.
Hanya di stasiun kereta api, tidak di terminal bus ataupun ditempat wisata
lainnya.
Hal yang sama juga terlihat di
Brussel belgia. Semua jalanan yang dilalui, sangat sulit menemukan polisi. Baik
di terminal bus, di objek wisata andalan Belgia seperti Grand Palace, pusat
penjualan coklat, istana raja, tugu atomium, dan daerah lainnya, hampir tak ada
polisi yang ditemukan. Kondisi yang sama juga terlihat di Jerman, khususnya di
Dusseldorf. Jalanan terlihat lengang dan lancar, teratur, tertib dan tak ada
aparat keamanan. Sedikit perbedaan hanya ada di Paris, khususnya di Menara
Eifel, disitulah baru ditemukan aparat kemanan. Uniknya kendati aparat keamanan
sangat jarang terlihat di berbagai tempat keramaian, namun jika mereka ada di
sebuah tempat, seperti di Eifel, penampilan mereka sangat terlihat profesional.
Bersenjata lengkap, tanpa senyum, dan tak mau sedikitpun diajak bicara.
Posisinya selalu siaga. Agaknya ini berkaitan dengan posisi Eifel sendiri
sebagai objek vital yang bersejarah.
Akan tetapi, jika di Eifel ditemukan
aparat keamanan bersenjata lengkap, justru di daerah keramaian lain, seperti
pusat perbelanjaan Lafayette, pasar tradisional, persimpangan jalan, polisi tak
ada. Agaknya ini mengindikasikan bahwa memang daerah-daerah tersebut tak
diperlukan polisi. Kalaupun ada sifatnya hanyalah patroli sesaat, bukan
rutinitas penjagaan di satu lokasi.
Ketidakhadiran polisi di berbagai
ruang publik atau tempat-tempat umum, agaknya menjadi fenomena biasa di Eropa.
Tidak hanya polisi, aparat keamanan lokal, semacam Satpam atau Satpol PP di
Indonesia, juga tidak ditemukan. Pengalaman ketika di Universitas Utrecht,
tidak ditemukan yang namanya satpam di kampus ini. Security memang ada, tetapi
bukan sebagai penjaga pintu masuk, namun justru menjadi resepsionis.
Kondisi yang berbeda tentu saja di
Indonesia. Sepanjang jalan raya, terutama hampir di setiap persimpangan,
khususnya di lampu merah jalan yang sibuk, dipastikan ada polisi. Di setiap
perkantoran, hampir selalu ada yang namanya Satpam. Di setiap tempat parkir,
pasti ada tukang parkir. Uniknya pula, kendati sudah sedemikian banyak aparat
keamanan, justru pelanggar aturan juga tinggi. Sebaliknya di Eropa, kendati
aparat keamanan tidak ada, pelanggar aturan juga hampir tidak ada.
Persoalan kesadaran dan ketaatan
publik terhadap aturan, agaknya menjadi kata kunci pada kondisi ini. Tidak ada
pengecualian, tidak ada keistimewaan, semua memiliki posisi dan perlakuan yang
sama. Ini kemudian menjadi penyebab utama mengapa di Eropa tidak diperlukan
banyak polisi di ruang publik. Kalau toh semua sudah teratur, semua sudah
tertib, tentu saja tidak perlu lagi dijaga sedemikian rupa. Sebaliknya, jika
pelanggar aturan memang banyak, maka disitulah penegak hukum perlu hadir.
Sebuah otokritik bagi kita semua,
terutama warga negara Indonesia. Jika di persimpangan lampu merah, selalu saja dilanggar,
jika kebut-kebutan masih menjadi kebiasaan, jika saling serobot tetap saja
dilakukan, jika aturan tetap tidak dipatuhi, parkir kendaraan sembarang tempat,
maka tidak usah kecil hati kalau kita tetap dikatakan sebagai warga negara
kelas dua, bahkan kelas tiga. Sebab salah satu indikator bangsa yang sudah
dikatagorikan maju adalah ketaatan pada aturan dan disiplin. Tidak usah
rumit-rumit bicara kepastian hukum, korupsi, polisi yang tidak profesional,
menyalahkan pemerintah, dan sebagainya, tapi cukup berkaca pada diri sendiri
saja, apakah kita sudah menaati aturan yang paling sederhana sekalipun,
misalnya aturan lalu lintas? Apakah kita sudah taat untuk buang sampah, parkir
pada tempatnya, ataupun menghargai pejalan kaki? Jika tidak, maka itulah
ciri-ciri warga negara belum berpikiran maju, dan polisi tetap diperlukan.
*) Tulisan ini sudah dipublikasikan di HU Berita
Pagi, 26 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar