SELAMAT DATANG ...

SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN BLOG PRIBADI SAYA, MARI BERBAGI INFORMASI DAN PENGALAMAN

Minggu, 01 Juni 2014

Semende, Negeri Tunggu Tubang

Semende, Negeri para Tunggu Tubang
Oleh : Yenrizal
Apabila kepada kita ditanyakan tentang Semende (sering disebut Semendo), tentu yang
terlintas adalah cita rasa kopi yang harum dan nikmat. Tak salah memang, Semende adalah salah
satu produsen kopi terbesar di Sumatera Selatan, di samping Pagar Alam dan Lahat. Akan tetapi,
apakah Semende hanya sekedar kopi saja? Tidak, banyak hal lain yang bisa kita ceritakan tentang
negeri di atas bukit ini, keelokan alamnya, keunikan adat, keharuman berasnya, dan seabreg lagi
cerita menarik tentang daerah ini. Catatan berikut mencoba menggambarkan beberapa hal menarik
yang mungkin selama ini belum terpublikasikan.

Siang itu, (21/2/14) minibus yang saya tumpangi melaju membelah jalanan aspal di sela-sela
hamparan sawah. Awalnya, suasana masih terasa ramai, lalu lalang kendaraan besar dan kecil, sering
melintas. Selepas dari jalan lintas Sumatera di Muara Enim, kemudian Tanjung Enim, dan selanjutnya
memasuki daerah Simpang Meo, jalanan mulai terasa sepi. Muara Meo, atau lazim disebut Simpang
Meo adalah perhentian terakhir, sebelum memasuki Semende, negeri di atas bukit, di ujung Provinsi
Sumatera Selatan.
Perjalanan dari Palembang hingga Simpang Meo sebenarnya cukup melelahkan, karena jarak
yang cukup jauh. “Normalnya sekitar 5 jam kalau dihitung dari Palembang,” ujar sopir travel yang
saya tumpangi. “Sampai di Pulau Panggung nanti sekitar satu jam lagi lah,” lanjutnya sambil tetap
asyik memutar stir mobil. Saya melirik arloji, memperkirakan bahwa sekitar jam 15.00 WIB sore ini
saya sudah berada di Semende. Masih sekitar 1 jam lagi.
Apa yang dikatakan sang sopir ternyata memang benar. Pukul 15.10 WIB, deretan rumah
panggung yang bagian bawahnya dijadikan toko, tampak berjejer di pinggir jalan. Di bagian lain
tampak kios-kios, semacam pasar di pedesaan. Kalangan, orang sini menyebutnya. Inilah Pulau
Panggung, daerah paling ramai di Semende, sekaligus daerah transit utama bagi masyarakat. Dari
desa ini, penumpang akan terpecah. Ada yang melanjutkan ke Semende Darat Tengah dan Ulu, ada
juga yang hanya sampai Pulau Panggung ataupun meneruskan ke Semende Darat Laut. Saya sendiri
meneruskan ke Semende Darat Tengah.
Jalanan yang dilalui makin berliku. Sang sopir terlihat terampil memainkan stir di jalanan
sempit yang diapit oleh perbukitan dan jurang-jurang. Hampir tak ada jalan lurus dan mendatar.
Mata saya dimanjakan oleh hamparan pepohonan kopi dan deretan sawah bertingkat, khas daerah
pegunungan. Dari catatan saya, daerah tertinggi di Semende berada di ketinggian 1.800 m dpl. Sejuk
atau lebih tepatnya dingin, itulah udara yang menerpa kulit.
Perjalanan sudah memasuki jantung Semende, sebelum sampai ke dusun terjauh di
Semende Darat Tengah, yaitu Desa Swarna Dwipe. Sepanjang mata memandang, yang terlihat
adalah panorama alam pegunungan yang luar biasa. Deretan kebun kopi, sawah tebing, gemericik
air yang teramat jernih, kolam ikan, ibu-ibu yang berjalan sambil menggendong kinjar (keranjang
rotan), para lelaki yang menyandang gerahang (parang), dan rumah panggung, adalah suasanasuasana
yang tak bisa dilewatkan. Dari kaca mobil, kamera saku saya tak henti-hentinya menjepret.
“Jika datang kesini di bulan September, maka di kiri kanan kita akan disuguhkan dengan
hamparan padi yang menguning dan masyarakat yang disibukkan dengan menangkapi ikan di kolamkolam
sekitar sawah,” suara sopir mengusik keasyikan menatap pemandangan. Belakangan saya
tahu, September-Oktober adalah masa panen raya di Semende. Masyarakatnya menyebutnya
musim ngetam, setelah itu dilanjutkan dengan musim bagok, yaitu masa setelah panen. Di saat
bagok inilah keramaian banyak dilangsungkan. Disinilah masanya menikahkan anak, berpesta
setelah padi berhasil dipanen.
Padi memang salah satu tanaman utama di Semende, selain kopi. Dengan struktur daerah
yang berbukit-bukit, padi ditanam dengan pola sawah tebing, bertingkat-tingkat seperti tangga. Jenis
padi utama yang ditanam disini adalah jambat teghas, bibit lokal berwarna putih sedikit keabuabuan
yang usia tanamnya sekitar 6 bulan. Bersawah dilakukan sekali setahun, dan tidak pernah ada
perubahan sejak jaman puyang dulu. “Kenapa sekali setahun? Karena begitulah tradisi disini. Jangan
coba-coba menanam bibit yang bisa dua kali setahun. Tidak akan berhasil,” ujar salah seorang warga.
Ketika saya coba telaah lebih lanjut, ternyata ini bukan sekedar tradisi saja, namun pengetahuan
dasar warga mengenai alamnya. Ini berkaitan dengan cuaca, angin, hujan, serta hama yang
mengancam.
Keelokan daerah Semende terus memanjakan mata saya. Hujan rintik-rintik semakin
melarutkan pikiran, karena dari arah Bukit Balai dan Bukit Barisan, hamparan kabut tipis
menghampiri. Kabut putih itu memperlihatkan bayangan samar-samar perbukitan dan diselingi
dengan bayangan hitam rumah panggung serta tengkiang di tengah sawah. Tengkiang atau lumbung
padi memang jadi satu kesatuan dengan sawah dan dangau (rumah/pondok di sawah). Sebuah
simbol kesejahteraan masyarakat Semende.
Terpaan angin dan kabut tipis menerpa lembut di wajah. Saya merapatkan jaket
menyelimuti tubuh dan mempererat sebo (kupluk) di kepala. “Segelas kopi Semende yang terkenal
itu, tentulah akan menjadi hidangan nikmat di sore ini,” lamunan itu melintas dipikiran. Saya tak
perlu menunggu lama, begitu turun dari mobil dan masuk ke rumah Kepala Desa, kopi panas itu
telah terhidang. Lupa akan basa-basi, setengah gelaspun ludes ke tenggorokan. Tak lama kemudian,
nasi putih panas, goreng ikan mas, sambal terung Belande, lalapan umbut rotan, hadir dihadapan.
Untuk sementara, program diet terlupakan, godaan lauk dan nasi harum yang masih berasap, terlalu
sayang untuk dilewatkan.
“Kendati sekarang tidak musim panen, namun persediaan beras tetap ada, tengkiang masih
terisi, karena ini adalah rumah Tunggu Tubang,” ujar sang Kades di sela-sela suapan nasi yang entah
ke berapa kali sudah masuk mulut saya.
Tunggu Tubang, ya itulah istilah yang sering terdengar. Ternyata ini adalah sebutan untuk
anak perempuan tertua dalam sebuah keluarga. Adat Semende punya ciri khas tersendiri, dimana
pola pewarisan harta, terutama sawah dan rumah, jatuh pada anak perempuan tertua. Seorang
Tunggu Tubang diberi kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola dan mengurus harta
warisan keluarga. Hanya anak perempuan tertua, selain itu harus keluar untuk mencari nafkah.
“Tak ada orang Semende yang tidak punya tunggu tubang, itu adalah identitas,” ujar Syaiful,
seorang warga yang begitu setia menemani sekaligus memberi penjelasan seputar adat Semende.
Adanya tunggu tubang pula yang menyebabkan sawah dan rumah di Semende tetap lestari, tidak
hilang dan tidak punah. Tunggu Tubang adalah simbol Semende sekaligus simbol kekuasaan di
masyarakat. Orang menjadi tunggu tubang adalah penguasa atas harta warisan, walaupun itu adalah
kuasa kelola dan kuasa manfaat. Kepemilikan harta tetap bersama, namun pengelolaan ada pada
tunggu tubang. Rumah yang ditempatinya ibaratkan “kantor” bagi keluarga tersebut, tempat
berkumpul pada hari-hari tertentu.
Sebuah konsep adat yang unik. Dari sekian banyak daerah di Sumatera Selatan yang sudah
saya jalani, hanya Semende yang punya adat berbeda. Sekilas saya teringat pada adat di
Minangkabau dengan sistem matrilinealnya. Mirip walaupun tidak sama.
Semende, ibarat sebuah negeri dongeng. Disitu ada perbukitan yang diselimuti kabut, lurahlurah
dan jurang dalam berliku, hamparan kebun kopi yang memancarkan warna hijau dan merah,
kuningnya padi di musim panen, deretan sawah berjenjang yang mempesona, kokohnya tengkiang
di sebelah dangau, kecipak air dari pancuran di sela pematang sawah, dan senyum ramah warga
setempat. Di malam hari, dari sela-sela gelungan kain sarung penahan dingin, sayup-sayup terdengar
dentingan gitar dan alunan suara remaja melantunkan syair Batang Hari Sembilan. Ah, gitar tunggal,
musik yang selama ini hanya saya saksikan lewat TV.
Itulah negerinya para Tunggu Tubang. Negeri elok di pinggiran Sumatera Selatan. Terpikir
oleh saya, jika selama ini dikenal Puncak di Bogor sebagai kawasan wisata, ataupun Pagar Alam
dengan Gunung Demponya, kenapa Semende terabaikan dari pengetahuan kita. Suatu saat saya
pasti mengulang kembali, menikmati kopi dan hidangan para Tunggu Tubang, sekaligus meresapi
terpaan kabut dari Bukit Barisan dan memanjakan mata serta mengagumi karunia Tuhan saat
memandang lekuk liku bukit dan jurang, melihat apakah tengkiang masih berdiri kokoh, dan apakah
gitar tunggal masih berdenting di keheningan malam. Suatu saat nanti.
Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan di HU Berita Pagi, 1 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar