SELAMAT DATANG ...

SELAMAT DATANG DAN BERGABUNG DENGAN BLOG PRIBADI SAYA, MARI BERBAGI INFORMASI DAN PENGALAMAN

Jumat, 04 Mei 2012

”ADAT BEMERAJE ANAK BELAI”
Sebuah Nilai Demokrasi Ala Semende
Oleh : Yenrizal


    Menelusuri wilayah pedesaan Sumsel adalah sebuah perjalanan menarik dan selalu menghadirkan ”pelajaran-pelajaran” baru. Sangat banyak nilai-nilai kearifan lokal yang pantas kita beri apresiasi dan perlu digali, dalam arti disebarluaskan, sebagai pengetahuan berharga dari kearifan masyarakat pedesaan. Salah satunya adalah di wilayah Semende, Kabupaten Muara Enim. Sebuah daerah sentra kopi dan sayuran untuk Sumatera Selatan.





    Banyak kekhasan pada daerah ini, mulai dari topografi alam, sumber daya dan hasil bumi, bahasa, seni tradisi, bentuk rumah, hingga ke tatanan adat istiadat. Salah satu konsep adat yang cukup menonjol serta ciri khas daerah ini adalah ”Adat Bemeraje Anak Belai” yang terdiri dari tiga unsur yaitu, Tunggu Tubang, Anak Belai, dan Meraje (Zulfikridin, 2001). Sebuah tatanan adat yang hanya ada di daerah ini dan berbeda sama sekali dengan daerah lain di Sumsel.
    Tunggu Tubang adalah sebuah mekanisme adat yang menekankan penguasaan harta pusaka ada pada anak perempuan tertua. Apabila dalam sebuah rumah tangga ada 4 orang anak, 2 perempuan 2 laki-laki, maka yang berhak mengelola harta yang dimiliki adalah anak perempuan tertua. Anak-anak lain tidak mendapat bagian dan harus mencari di tempat lain. Harta ini berupa rumah pekarangan dan kebun/sawah. Hak yang didapatkan Tunggu Tubang adalah hak kelola, bukan hak milik.
    Anak Belai sendiri adalah semua keturunan dari kakak atau adik perempuan ibu. Tugas utamanya mengawasi dan mengamati seluruh anggota Jurai (seluruh anggota keluarga yang saling berkaitan, baik laki-laki atau perempuan) sebagai bahan pertimbangan bagi Meraje. Yang dikatakan dengan Meraje adalah kakak atau adik laki-laki dari ibu. Meraje inilah yang bertugas utama membimbing dan mengasuh seluruh Anak Belai termasuk Tunggu Tubang. Meraje berada pada posisi sentral, ibaratkan lembaga legislatif dalam pemerintahan.
    Dibandingkan dengan daerah lain di Sumsel, Semende adalah satu-satunya wilayah yang memakai sistem adat berbeda. Hal ini berkaitan dengan sejarah masyarakat di wilayah ini yang berbeda dengan daerah lain. Diawali dengan kedatangan Puyang Awak (Syekh Nurqadim) untuk membuka daerah di wilayah ini dan sekaligus menyebarkan agama Islam. Masa ini berlangsung sekitar tahun 1650 M. Kedatangan Syekh ini kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Mas Penghulu, Ahmad Pendekar Raja Adat Pagarruyung, Puyang Sang Ngerti, Puyang Perikse Alam, Puyang Agung Nyawe, Puyang Lurus Sambung Hati, dan sebagainya (Zulfikridin, 2001, Salmudin, 2000). Merekalah yang kemudian secara bersama-sama membuka wilayah dan menyebarkan agama Islam. Atas kesepakatan mereka dibuatlah konsep adat yang berawal dari dua suku kata yaitu Same dan Ende, yang kemudian disebut dengan Semende. Artinya adalah sama memiliki, milik bersama atau bisa diartikan pula satu ikatan.
    Konsep Adat Bemeraje Anak Belai memang khas Semende. Sesuatu konsep adat yang berasal dari nilai-nilai lokal setempat yang berawal dari pemahaman terhadap situasi dan kondisi yang ada. Adat ini bukanlah sesuatu yang diadopsi atau berasal dari luar, tapi pemaknaan para pendiri terhadap daerahnya dan diwujudkan sebagai aturan bersama untuk kepentingan bersama pula. Melalui adat ini, seorang Tunggu Tubang dibebani tanggung jawab mengelola dan memelihara harta keturunan dari nenek moyang sebagai harta bersama; mengurus anggota keluarga; menjaga rumah sebagai tempat berhimpun seluruh anggota keluarga.
    Dalam pengurusannya, seorang Tunggu Tubang tidaklah berjalan sendiri tanpa kontrol. Peran Meraje berada pada sisi ini, yaitu pengawasan dan pembinaan terhadap Tunggu Tubang. Dimanapun Meraje berada (baik di Semende maupun sudah keluar daerah), ia tetap memiliki tanggung jawab untuk membina Tunggu Tubang serta Anak Belai. Akibatnya, di wilayah Semende semua harta (rumah dan lahan perkebunan) terjaga dengan baik dan tidak diperjualbelikan, semuanya senantiasa siap selalu menunggu kedatangan sanak keluarga pada saat tertentu.
    Melihat sekilas konsep adat yang dikembangkan di Semende, sebenarnya inilah salah satu produk demokrasi berbasiskan nilai-nilai kelokalan masyarakat setempat. Sistem demokrasi dalam pengaturan harta pusaka dan keutuhan sebuah keluarga besar khas wilayah Semende, yang mungkin saja tidak akan ditemukan di tempat lain.
Makna demokrasi yang bisa ditangkap dari adat tersebut adalah (1) harta pusaka adalah milik bersama yang harusnya bisa mendatangkan manfaat bagi semua pihak. Kendati hanya Tunggu Tubang yang punya hak kelola dan hak manfaat, namun hakekatnya semua harta tersebut harus bisa mendatangkan manfaat bagi anggota keluarga lain. Bentuknya seperti persiapan apabila ada anggota keluarga yang membutuhkan, tempat mengadu bagi keluarga lain. (2) Sistem pengawasan dan pembinaan dijalankan oleh pihak yang dihargai secara moral dan adat. Kekuasaan Tunggu Tubang tidak tanpa batas. Ia akan dibatasi oleh kekuasaan Meraje yang bisa memberikan sanksi dan peringatan. (3) Seluruh anggota keluarga hakekatnya saling memberikan pengawasan dan pembinaan. Anak Belai berada pada posisi ini yang mengukuhkan peran anggota keluarga sebagai kekuatan tersendiri. (4) Sikap kebersamaan, kepedulian, dan keadilan adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Tunggu Tubang, Anak Belai, Meraje dan anggota lainnya adalah satu kesatuan. Inilah yang mendasari prinsip Same dan Ende (satu kesatuan).
Sampai sekarang, nilai-nilai dan konsep Adat Bemeraje Anak Belai masih tetap lestari. Dimanapun warga Semende berada mereka pada dasarnya tetap memegang konsep adat tersebut. Ciri khasnya adalah, tak ada orang Semende yang tak punya Tunggu Tubang. Siapapun dia, pastilah ia bisa dengan mudah menunjukkan siapa dan dimana rumah Tunggu Tubangnya. Inilah penghargaan tinggi terhadap leluhur dan tanah kelahiran.
Konsep adat di Semende semestinya juga bisa ditularkan pada daerah lain, dimana nilai lokal yang berasal dari daerah sendiri memiliki keunggulan dan kekuatan tersendiri. Sewajarnya pula nilai lokal ini yang diangkat dan mewarnai budaya lain. Inilah yang kita harapkan yaitunya terjadinya dekontekstualisasi nilai demokrasi lokal ke tataran yang lebih luas. Dari Semende kita bisa belajar banyak tentang hal itu. (Tulisan ini sudah dimuat di harian umum Sriwijaya Post tanggal 8 Agustus 2010)

1 komentar: